KRIMINALITAS ANAK SD SALAH SIAPA


Jika kita sering menyaksikan berita di media TV, maka kita akan menjumpai beberapa berita yang memprihatinkan yang terjadi di Indonesia khususnya di dunia pendidikan dasar. Adanya pemerasan pada adik kelas atau temannya dengan ancaman tertentu sehingga anak tersebut harus memberikan sejumlah uang. Pengeroyokan yang berujung pada kematian. Permainan gulat”smack down” yang menelan korban siswa SD. 
Pengeroyokan yang direkam dengana menggunakan HP dan kemudian disebarluaskan. Masih banyak lagi kejadian kriminalitas yang terjadi pada anak SD yang terjadi di sekolah.

Tentunya pemandangan seperti itu menjadi keprihatinan bagi kita semua. Bukan hanya orang tua korban tapi para guru yang mengajar di SD tersebut turut prihatin, dan mungkin semua masyarakat yang peduli dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Berbagai ungkapan penyesalan, pertanyaan, bahkan tuduhan dilontarkan kepada pemangku pendidikan di tempat peristiwa tersebut terjadi. Seolah-olah semua itu terjadi karena kasalahan dan kelalaian para guru di sekolah tersebut.

Apakah memang kejadian tersebut disebabkan karena kesalahan guru?
Apakah sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia ada yang salah?
Apakah orang tua pelaku tidak ikut andil mengapa anaknya bisa berbuat kriminal?
Ataukah ada pengaruh dari dunia luar yang meracuni anak bangsa?
Berbagai pertanyaan muncul dan mereka mencari-cari kesalahan pada pihak lain dan menghindar dari kesalahan yang mungkin dituduhkan pada pihaknya.

Tapi yang pasti pihak sekolah (Kepala Sekolah, Guru, dan Karyawan) tidak menginginkan hal itu terjadi, khususnya di lingkungan mereka. Pihak sekolah pun tidak mungkin mengajarkan hal demikian pada anak-anak didiknya. Kesempatan yang memungkinkan terjadinya hal itu pun diminimalisir sedemikian rupa. Sehingga, apabila seluruh hidup siswa selama menuntut ilmu di sekolah itu selalu berada di lingkungan sekolah dan selalu dalam pengawasan pihak sekolah maka hampir bisa dipastikan peristiwa itu tidak mungkin terjadi. Contoh yang nyata adalah yang diterapkan di lingkunga pondok pesantren. Namun kenyataan yang terjadi adalah siswa berada di lingkunag sekolah dan dalam pendidikan guru terbatas dari jam tujuh pagi hingga maksimal jam dua siang. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan keberadaan mereka di luar sekolah yaitu di rumah dan lingkungan (komunitas) mereka yang segala pengaruh buruk di luar kontrol sang guru.

Lalu bagaimana dengan keadaan siswa di luar sekolah. Apakah mereka mendapat pengawasan, pendidikan, dan informasi yang tepat? Bagaimana pergaulan mereka? Banyak pertanyaan yang mungkin muncul sehubungan dengan penyebab buruknya karakter siswa. Seberapa baik pendidikan yang diberikan di sekolah jika berbanding terbalik dengan keadaan di lingkungan rumah tangga dan masyarakatnya, maka usaha sebesar apapun yang dilakukan oleh pihak pendidik di lingkungan sekolah akan menjadi sia-sia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar