repost from menjadi guru yang inspiratif
Guru kurikulum mengajar sesuai apa yang diacu atau sesuai standarnya, sedangkan guru inspiratif mengajar siswanya dengan sesuatu yang membuat siswanya kreatif dan termotivasi. Menurut artikel tersebut, kita jarang menemukan guru yang inspiratif ini, kebanyakan guru menjadi guru yang habitual (kebiasaan-tradisi) saja.
Untuk menjadi guru yang inspiratif ini memang tidak mudah, karena dirinya harus membawa sesuatu yang tidak biasanya, mampu menembus batas tradisi, dan kreatif. Guru yang inspiratif memang berbeda dengan guru kurikulum, ia selalu ingin perubahan, peka terhadap situasi dan konteks hidup siswanya. Menjadi guru inspiratif tentu saja tidak dapat diraih dengan hanya sekedar “berbeda”, ia membutuhkan komitment tinggi terhadap perubahan, memahami, serta mampu membawa siswanya memahami dunia melalui dirinya sendiri.
Melihatlah yang paretto
Sejarah peradaban dimana pun tak pernah lepas dari perubahan. Ia berubah atau diubah. Begitupun kita, bahwa denyut nadi ini bergerak, hidup, kalau berubah. Denyut nadi alam telah memperlihatkan hal itu, perubahan pasti terjadi, baik itu evolutif (perlahan) ataupun dengan revolutif (cepat). Tumbuh, berkembang, adalah jiwa konsekwensi kehidupan.
Jika ingin berubah harus bersedia untuk melihat. Melihat, mengandaikan kita harus bersedia terbuka kepada segala sesuatu perubahan yang terjadi. Melihat, membutuhkan kemauan, sekaligus analisa. Agar kita mampu “melihat” dengan maju, maka kita harus melihat pada dua sisi atau segi , yaitu melihat apa yang KONTRAS, dan melihat apa yang KONFONTRATIF.
Pengalaman kontras, mengajak kita berpikir lain, kreatif dan imajinatif. Kita tidak hanya melihat dari apa yang biasannya, melainkan dari apa yang tak biasa. Dengan “melihat” yang tak biasa, maka kita diajak untuk berpikir, bahwa ada banyak pilihan, ada banyak ragam, ada banyak jalan, dan masih banyak yang lainnya. Kita berusaha melihat sesuatu yang kontras tersebut dihadirkan di dalam pergulatan penglihatan kita. Kita disadarkan bahwa ada banyak hal yang dapat kita lakukan. Dengan melihat kita sadar bahwa kita perlu berubah dan melakukan sesuatu di tengah zaman yang penuh tantangan dan perubahan ini.
Sering kali apa yang biasanya ada, baik, itu perilaku, budaya, sistem dan lain sebagainya, selalu ada yang disebut mayoritas sebagai yang 80%, dan ada 20% yang bisa dikatakan minoritas. 80% adalah apa yang normal, namun yang 20% adalah yang ab-normal. Kita mampu melihat secara “berbeda”, kontras dan konfrontatif, jika kita selalu melihat fenomena itu dari yang 20% ini. Kita perlu melihat fenomena itu bukan apa yang kebanyakan, melainkan apa yang “disingkirkan”. Kita harus melihat segi-segi “lain” dari apa yang kebanyakan muncul. Biasanya 20% malah yang kelihatan, kontras, konfrontatif. Kreatifitas muncul jika kita dapat mengakomodir dari yang 20% ini. Biasanya pula 20% ini selalu mempunyai nilai dan makna yang lebih dibandingkan dari yang 80%, karena biasanya ada prinsip, pola, sikap dan latar belakang yang bersifat kontras. Jika kekontrasan dari 20% ini dapat diamati dan dianalisa, maka lahirlah suatu kreatifitas, kajian yang akan memperkaya, beragam dan inovatif.
Mulailah pengajaran yang kreatif
Dalam pendidikan, proses pembelajaran perlu kreatifitas dengan tetap memperhatikan aspek kognitifnya. Alasannya, perkembangan usia siswa, konteks budaya dan berbagai hal yang perlu dicari bersifat menyapa aspek imaginatif, menarik, dan menyenangkan, tanpa meninggalkan aspek pembelajaran secara utuh (kognitif-afektif serta psiko-motorik). Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang sederhana namun mampu memberikan suasana yang tepat bagi alam pikir dan psikologis siswa, sehingga siswa sungguh-sungguh terlibat dalam proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran bersifat menggairahkan, menyenangkan dan menarik, maka siswa akan termotivasi dan terlibat secara penuh. Agar proses pembelajaran berjalan seperti itu, maka kita perlu dukungan berbagai metode, sarana/media serta ketrampilan dalam mengolah dan memprosesnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu menjadi sikap atau cara pandang kita, yaitu:
1. Terbuka dan berupaya mencari berbagai kemungkinan, baik dari orang lain, buku, referensi internet dan sebagainya, agar pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
2. Utuh dan fleksibel dalam mengemas pembelajaran. Metode-pendekatan dan sarana/media yang dipergunakan bervariasi, tidak hanya ceramah/informatif saja, tetapi juga dengan berbagai pendekatan yang menarik, namun tidak lepas dari komponen segi kognitif-afeksi dan psikomotorik siswa.
3. Terlibat secara penuh untuk mengamati, menganalisa, memahami gaya belajar dan kemampuan masing-masing siswa sehingga dapat menentukan metode yang tepat dalam pembelajaran.
4. Memotivasi siswa untuk berkeinginan belajar terus-menerus dan memberi peluang untuk belajar sesuai dengan kemampuannya.
Multitasking pembelajaran sebagai tantangan
Dewasa ini, yang perlu kita sadari, adalah tantangan budaya multitasking. Budaya multitasking ini sudah mempengaruhi bagaimana siswa mengikuti sebuah proses pembelajaran. Ciri yang paling mendominasi adalah munculnya komponen budaya inderawi yang utuh, meliputi melihat, mendengar, merasakan-menyentuh dan bereksplorasi. Bahasa yang dulunya cenderung mengajar, kemudian berubah menjadi bahasa media yang bersifat membujuk, menggetarkan hati, dan penuh dengan resonansi, irama, cerita, dan gambar yang tervisualisasikan. Bahasa media tersebut lebih berpusat pada getaran hati. Selain itu, bahasa itu menjadi simbol untuk mengangkat dan memberi tekanan pada aneka kekayaan cita rasa. Siswa akan tertarik pada sifat-sifat proses pembelajaran yang auditif dan visualitif. Mungkin, media komunikasi populer bisa menjadi salah satu alternatif.
Media komunikasi populer itu hendaknya ditempatkan dalam rancangan pembelajaran yang menarik dan kreatif. Hal itu sangat beralasan, karena pengaruh media informasi yang sudah menjadi tiang penyangga kehidupan dan sekaligus menjadi ciri khas setiap orang bersosialisasi dengan sesamanya dewasa ini.
Media komunikasi populer perlu kita kembangkan sebagai salah satu komponen penting dari pembelajaran kita. Salah satunya dapat meliputi, pemutaran film-film populer untuk pendalaman materi, bahasa foto, bahasa gambar, dan lain sebagainya. Intinya media pembelajaran kita paling tidak harus memuat dua unsur penting, yaitu:
1. Unsur Inderawi. Kita perlu mempergunakan metode yang mengeksplorasi kegiatan inderawi, meliputi pengelihatan dan pendengaran. Dalam mengolah materi perlu dipergunakan bahasa yang tidak hanya verbal, melainkan juga audio-visual, dengan sarana visualisasi melalui gambar-gambar yang menarik dan menggugah imaginasi siswa, dan sarana auditif yang menarik pendengarnya.
2. Unsur Populer. Kita perlu mempergunakan metode yang mengeksplorasi berbagai bahasa, cara, model, gambar, lagu yang populer dikenal siswa. Unsur populer ini bukan menggantikan materi, melainkan pendekatan untuk mendukung proses mendalami materi.
Untuk itu, unsur-unsur tersebut dapat kita kembangkan menjadi 2 pendekatan di dalam proses pembelajaran kita, yaitu:
1. Pendekatan Visual-auditif. Pendekatan ini digunakan untuk mengajak siswa mendalami materi dengan mempergunakan berbagai sarana visual-auditif, yaitu gambar-poster, lukisan, karikatur, film-film animatif, lagu-lagu dan lain sebagainya. Pendekatan ini ingin mengajak siswa supaya konkret melihat visualisasi yang harus ia pelajari, dan secara inderawi mampu memberikan daya pikat, baik dari segi penglihatan maupun pendengaran.
2. Pendekatan Populer. Pendekatan ini digunakan untuk mengajak siswa mendalami suatu materi dengan mempergunakan berbagai tehnik dan model yang populer. Guru membuat prosesnya seperti model acara televisi, misalnya talk show. Pendekatan ini dapat mempergunakan film, gambar, lagu yang populer dikenal oleh siswa dalam mendalami suatu materi, misalnya film Sitting Duck, film animasi dari Walt Disney, dan sebagainya.
Untuk mendukung pendekatan tersebut, kita perlu mengupayakan sarana-sarananya, antara lain:
1. Media Gambar (visual), adalah sarana atau media yang berbentuk poster, lukisan, photo, karikatur, dan sebagainnya, yang fungsinya untuk mendukung pembelajaran secara visual. Hal ini dapat dilakukan dengan: 1). Divisualisasikan, artinya gambar (poster, lukisan, photo, karikatur, dll), digunakan untuk memvisualkan tema atau gagasan yang ingin didalami atau dipelajari, sarana atau media bantu penjelasan dari guru atau media yang digunakan untuk diskusi, diamati, dan didalami-direfleksi bersama (apresiasiatif). 2). Dinarasikan, artinya gambar (poster, photo, dll) sebagai media untuk bercerita (storytelling). Gambar yang disajikan, membantu kita memberikan “suasana” dan pusat perhatian bagi siswa. 3) Mempergunakan bahasa gambar melalui papan tulis. Bahasa gambar ini memang membutuhkan ketrampilan tersendiri, karena kita harus mampu membuat bahasa gambar itu untuk disajikan kepada siswa dengan cepat namun menarik.
2. Media Auditif, adalah sarana atau media yang digunakan melalui pendengaran, misalnya lagu cassette, CD, atau cerita cassette yang sifatnya hanya didengarkan. Biasanya media ini digunakan untuk mendukung pendekatan-pendekatan lain misalnya, ekspresi gerak atau populer, digunakan sebagai sarana memberikan “suasana” ruang atau sebagai media untuk didalami bersama.
3. Media audio-Visual (Film), adalah sarana atau media yang utuh untuk mengkolaborasi bentuk-bentuk visual dengan audio. Media ini bisa dipergunakan untuk membantu penjelasan guru sebagai peneguh, sebagai pengantar, atau sebagai sarana yang didalami. Media ini tidak hanya dikembangkan melalui bentuk film saja, tetapi dapat dikembangkan melalui sarana komputer dengan tehnik powerpoint dan flash player, hal ini perlu ketrampilan dan sarana yang khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar