GURU PROFESIONAL YANG TIDAK PROFESIONAL, SALAH SIAPA

Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hampir semua guru bersorak kegirangan karena adanya harapan mendapatkan tunjangan yang cukup besar. Semua guru berharap bisa mendapatkan tunjangan tersebut sesegera mungkin. Harapan mendapatkan penghasilan yang lebih besar menjadikan guru lebih terpacu untuk memenuhi persyaratan-persyaratannya. Nasib baik berpihak pada guru yang telah menempuh pendidikan S1. Mereka berbondong-bondong mengumpulkan syarat-syarat untuk portofolio. Pada saat inilah perhatian guru lebih fokus pada nasibnya yang berhubungan dengan peningkatan penghasilan. Setelah yang bernasib baik lulus portofolio, maka diadakan diklat (PLPG) bagi yang tidak lulus portofolio. Bagaimana dengan guru yang belum berpendidikan S1? Mereka berbondong-bondong mengikuti pendidikan di Universitas Terbuka atau universitas lain untuk memperoleh gelar S1. Guru yang sudah senior maupun yang masih junior hampir semua mengikuti pendidikan di universitas. Demi memenuhi persyaratan untuk mendapatkan sertifikat pendidik maka dengan segala daya upaya para guru seolah pantang menyerah untuk mendapatkannya. Pihak UT juga turut membantu kelancaran para guru sehingga banyak sarjana karbitan. Muncullah kebijakan baru tentang sertifikasi bahwa guru yang telah mengajar selama 20 tahun dan berusia di atas 50 tahun bisa mengikuti PLPG, sebagai langkah awal menuju sertifikasi. Tetapi kebijakan ini tidak mengurangi para guru untuk mendapatkan gelar sarjana. Seiring perkembangan sertifikasi guru mulai tahun 2012 penyaringan guru yang berhak mengikuti PLPG diperketat. Guru yang telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi diharuskan mengikuti UKA (Uji Kompetensi Awal). Mereka yang lulus UKA berhak mengikuti PLPG, dan mereka yang tidak lulus UKA harus menelan pil pahit belum dapat mengikuti PLPG. Guru yang mengikuti PLPG pun harus lulus tes dan dinyatakan lulus agar mendapatkan sertifikat pendidik. Guru-guru di Indonesia pun telah banyak yang bergelar sarjana dan telah mendapatkan sertifikat pendidik. Secara akademik mereka dinyatakan sebagai guru profesional dan kompeten dalam bidangnya. Begitulah sedikit gambaran guru profesional di Indonesia.
Sejak saat itulah kesejahteraan guru mulai dirasa pantas, bahkan dianggap lebih dari pantas. Timbul masalah yang cukup memprihatinkan, ternyata profesionalitas guru masih dipertanyakan. Berdasarkan bukti-bukti hitam di atas putih, guru yang telah mendapatkan tunjangan profesi yang lumayan besar, yaitu satu kali gaji pokok, memang telah dinyatakan sebagai guru yang profesional. Akan tetapi kinerja guru yang telah mendapatkan tunjangan profesi tak jauh beda dengan keadaan mereka sebelum mendapatkan tunjangan profesional. Bahkan kenyataan yang ada menunjukkan banyak guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi ternyata kinerja dan kompetensinya jauh melebihi guru yang telah menyandang “guru profesional”.
Ketika guru profesional dihadapkan pada seperangkat konputer atau laptop, banyak dari mereka tak tahu-menahu tentang benda yang ada dihadapannya. Alasannya sangat tidak masuk akal, yaitu sudah tua. Ketika dihadapkan pada beberapa soal kelas VI SD pun mereka tidak menguasai dengan alasan pelajaran sekarang sulit-sulit, sudah tua nggak bisa mikir. Ketika dituntut untuk melengkapi administrasi kelas (Silabus, Prota, RPP dan lain-lain) mereka pun berkilah tak ada waktu untuk megerjakannya, tak bisa menjalankan komputer, atau alasan tak logis lainnya. Selain tiga contoh itu masih banyak kenyataan lain yang menunjukkan bahwa banyak guru yang menyandang gelar sarjana dan guru profesional ternyata kinerjanya sangat jauh dari kata kompeten apalagi profesional.
Keadaan ini menjadi alasan bagi guru lain yang belum tersertifikasi merasa cemburu, protes, mengurangi kwalitas kinerjanya atau tindakan lain sebagai perwujudan ketidakpuasan mereka dengan kontradiksi yang dihadapinya. Meskipun demikian, tidak bijaksana apabila hanya mempersalahkan “guru profesional “ yang tidak “profesional”. Sudah menjadi hal yang wajar apabila peluang yang menggiurkan dibuka maka banyak yang berebut untuk segera mendapatkannya dengan segala daya dan upaya. Apalagi peluang tersebut sangat besar dan luas. Begitu mudahnya seorang guru untuk mendapatkan persyaratan mengIkuti PLPG dan dinyatakan lulus. Lemahnya pengawasan dan penilaian terhadap kinerja guru juga menjadi penyebab guru tidak maksimal dalam bekerja. Tidak ada sangsi yang jelas dan mengena bagi guru yang tidak bekerja sebagaimana tuntutan pekerjaannya. Itulah gambaran singkat tentang guru profesional yang tidak profesional.

Oleh : Dwi Joko Maryono