Posted on April 2, 2009 by abufawaz|
Oleh: Asy
Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam
Berikut perkataan mereka di bawah
judul Sikap Kami Terhadap Sistem-Sistem Lain (dari kitab Syar’iyyatul
Intikhabat halaman 19) :
[ Namun apakah diharamkan jika kami
mengambil sebagian dari sistem jahiliyah sedangkan yang sebagian ini merupakan
sesuatu yang benar?
Mereka berkata, yang demikian ini
diperbolehkan kendati tidak sampai tingkatan wajib mengambil sebagian perkara
yang benar dan bermanfaat lagi disyariatkan dari sistem jahili tersebut. Dalil
kami tentang hal ini ada dua :
Pertama, masalah memberikan
perlindungan --yakni seseorang mengumumkan bahwa dia melindungi si fulan dan
dengan pengumuman si fulan tersebut berada di bawah perlindungannya--. Sistem
jahili ini diambil oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para
shahabatnya, Rasulullah radliyallahu ‘anhu telah ridha dengan perlindungan
paman beliau, Abu Thalib dan kisah masuknya beliau ke Makkah dengan perlindungan
Muth’im bin Adi. ]
Saya katakan, kisah ini tidak
shahih. Ibnu Ishaq meriwayatkannya dalam riwayat yang mu’dhal (sanadnya
terputus di dua tempat atau lebih). Semua yang menyebutkannya seperti Ibnu
Hisyam dan Ibnu Katsir berpegangan pada riwayat Ibnu Ishaq dan riwayat tersebut
tidak shahih. Peneliti sejarah Nabi telah membantahnya meskipun kisah
perlindungan Abu Bakar bersama Ibnu Daghnah shahih ada pada Bukhari dan
selainnya. Yang lebih pantas bagi mereka –seandainya mereka perhatian dengan
sanad yang bersih– untuk berdalil dengan yang shahih bukan dengan yang sanadnya
telah jatuh. Ini adalah buah ucapan mereka :
“Zaman ini bukan zaman hadatsana wa akhbarana (telah menceritakan kepada kami dan telah mengkhabarkan kepada kami) dan kami tidak mau sibuk dengan ucapan mereka, ini hadits shahih atau lemah. Sesungguhnya ini membuang-buang waktu belaka.”
“Zaman ini bukan zaman hadatsana wa akhbarana (telah menceritakan kepada kami dan telah mengkhabarkan kepada kami) dan kami tidak mau sibuk dengan ucapan mereka, ini hadits shahih atau lemah. Sesungguhnya ini membuang-buang waktu belaka.”
Sekarang saatnya kita mendiskusikan
istidlal (pendalilan) ini dan pengakuan mereka bahwa ini adalah sistem jahili.
Kami katakan, istidlal di atas
tertolak dari beberapa sisi :
Pertama, kisah ini kalaulah shahih
sekalipun tidak terkait sama sekali dengan konteks permasalahan yang sedang
kita bicarakan.
Pertanyaannya di sini, apa korelasi
antara masalah pemilu dengan perlindungan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di
sisi Muth’im bin Adi? Bukankah kita tinggal di negeri- negeri kita sendiri?
Kita tidaklah terusir dan tergusur. Segala puji bagi Allah. Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam dahulu terusir, berbeda dengan kita. Istidlal ini tidak pada
tempatnya dan tidak ada kaitannya dengan materi yang sedang kita bahas.
Alangkah banyaknya kerusakan dalam agama apabila seperti ini yang mereka
lakukan.
Kedua, kalaulah bisa diterima bahwa
masalah perlindungan yang disebutkan di atas merupakan dalil bolehnya
berpartisipasi dalam pemilu maka di sini ada satu persoalan lagi, pernahkah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengalah dalam perkara al haq? Yakni
pada saat Muth’im bin Adi melindunginya.
Atau pernahkah beliau melakukan satu
dari sekian banyak kerusakan-kerusakan (pemilu) seperti di atas?
Jawabnya :
Tidak! Bila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah mengalah dari kebenaran –ini pun kalau dianggap kisah tersebut benar– lantas apakah orang- orang yang masuk pemilu mengalah dari kebenaran? Jawabannya, ya! Mereka mengalah dari sekian banyak hukum yang telah Allah syariatkan dalam rangka memenuhi cita-cita dan ambisi mereka. Mereka pun melakukan kerusakan- kerusakan yang banyak sebagaimana yang telah lalu pembahasannya secara rinci.
Jawabnya :
Tidak! Bila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah mengalah dari kebenaran –ini pun kalau dianggap kisah tersebut benar– lantas apakah orang- orang yang masuk pemilu mengalah dari kebenaran? Jawabannya, ya! Mereka mengalah dari sekian banyak hukum yang telah Allah syariatkan dalam rangka memenuhi cita-cita dan ambisi mereka. Mereka pun melakukan kerusakan- kerusakan yang banyak sebagaimana yang telah lalu pembahasannya secara rinci.
Ketiga, mereka mengatakan sesungguhnya
kita boleh mengambil sistem kafir selagi sistem tersebut mengandung kebenaran.
Saya katakan, perhatikan kata “benar” di sini. Kebenaran macam apa yang kalian ambil dari sistem pemilu? Bukankah telah kami katakan sesungguhnya menerima sistem pemilu itu berarti menjerumuskan diri ke dalam banyak kerusakan di antaranya adalah berbuat syirik kepada Allah pada banyak keadaan.
Apa standar bagi yang “benar” itu? Adakah di dalam sistem aturan kafir sesuatu yang “benar” yang tidak terdapat di dalam Islam? Khususnya yang berkaitan dengan cara-cara menegakkan hukum Allah di muka bumi?
Saya katakan, perhatikan kata “benar” di sini. Kebenaran macam apa yang kalian ambil dari sistem pemilu? Bukankah telah kami katakan sesungguhnya menerima sistem pemilu itu berarti menjerumuskan diri ke dalam banyak kerusakan di antaranya adalah berbuat syirik kepada Allah pada banyak keadaan.
Apa standar bagi yang “benar” itu? Adakah di dalam sistem aturan kafir sesuatu yang “benar” yang tidak terdapat di dalam Islam? Khususnya yang berkaitan dengan cara-cara menegakkan hukum Allah di muka bumi?
Sebaliknya, justru pada sisi kitalah
berbagai perkara menyangkut penjagaan hak- hak, perbaikan kondisi,
menghilangkan keburukan, merealisasikan keadilan serta menebarkan agama Allah
lebih banyak berkali lipat daripada yang dimiliki orang- orang kafir.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (QS. Al Maidah : 50)
“Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (QS. Al Maidah : 50)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Allah mengetahui dan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)
“Allah mengetahui dan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Rabb kamu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (QS. Al Maidah : 68)
Katakanlah : “Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Rabb kamu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (QS. Al Maidah : 68)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang- orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Jatsiyah : 18-19)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang- orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Jatsiyah : 18-19)
Allah Azza wa Jalla menginformasikan
bahwa mereka tidak memiliki apa-apa kecuali hawa nafsu.
Apapun keadaannya, telah jelas bagi
kita bahwa semua ini adalah kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta
terhadap Islam tanpa ilmu, pemahaman, pendalaman dan sebabnya adalah mereka
tidak mengembalikan permasalahan- permasalahan kepada para ulama yang
terpercaya yang mampu memberikan solusi dari ketergelinciran. Saya sebutkan
kepada mereka firman Allah Azza wa Jalla :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (QS. Al Haqqah : 44-47)
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (QS. Al Haqqah : 44-47)
Adapun dalil kedua yang kalian
pergunakan yakni bolehnya mengambil sistem jahili secara parsial menurut
anggapan mereka.
Nash yang mendukung ucapan mereka adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Saya pernah hadir di rumah Abdullah bin Jad’an untuk bersekutu sebelum Allah memuliakanku dengan kenabian, hal ini lebih saya sukai daripada saya memiliki unta merah. Tokoh-tokoh Quraisy berkumpul dan bersekutu untuk menolong orang yang dianiaya di Mekkah. Andai saya diundang untuk hal seperti itu pasti saya akan mendatanginya.”
Nash yang mendukung ucapan mereka adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Saya pernah hadir di rumah Abdullah bin Jad’an untuk bersekutu sebelum Allah memuliakanku dengan kenabian, hal ini lebih saya sukai daripada saya memiliki unta merah. Tokoh-tokoh Quraisy berkumpul dan bersekutu untuk menolong orang yang dianiaya di Mekkah. Andai saya diundang untuk hal seperti itu pasti saya akan mendatanginya.”
Sisi pendalilannya bahwa mereka
orang-orang yang berafiliasi pada sistem dan fanatisme jahiliyah berkumpul
dengan tujuan yang terpuji yakni bahu-membahu untuk menolong orang yang
teraniaya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membolehkannya dan memberkahinya.
Demikian dikutip dari kitab Syar’iyyatul Intikhabat.
Saya berkata, adapun hadits tentang
hadirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada persekutuan orang-orang
Quraisy telah diriwayatkan dari Imam Ahmad, Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad,
dan Hakim dishahihkan oleh Adz Dzahabi juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
Syaikh Al Albani telah membawakan dua syahid untuk hadits tersebut. Lihat Kitab Silsilah Ahadits Shahihah (4/524). Dan hadits ini mempunyai syahid-syahid yang lain pada riwayat Thabrani dan lainnya. Kesimpulannya, hadits tersebut shahih.
Syaikh Al Albani telah membawakan dua syahid untuk hadits tersebut. Lihat Kitab Silsilah Ahadits Shahihah (4/524). Dan hadits ini mempunyai syahid-syahid yang lain pada riwayat Thabrani dan lainnya. Kesimpulannya, hadits tersebut shahih.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
menghadiri persekutuan ini dan mendukungnya namun sistem jahili apakah yang
diadopsi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?
Jawabannya, tidaklah terjadi bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengambil sesuatu dari persekutuan ini satu sistem pun dan satu permasalahan pun. Bagaimana mungkin boleh bagi mereka mengambil sistem demokrasi sebagian maupun seluruhnya sedangkan Nabi tidak pernah mengambil sedikitpun sistem kafir yang telah diharamkan oleh Islam.
Jawabannya, tidaklah terjadi bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengambil sesuatu dari persekutuan ini satu sistem pun dan satu permasalahan pun. Bagaimana mungkin boleh bagi mereka mengambil sistem demokrasi sebagian maupun seluruhnya sedangkan Nabi tidak pernah mengambil sedikitpun sistem kafir yang telah diharamkan oleh Islam.
Saya ringkaskan, jawaban terhadap
istidlal mereka bahwa Nabi menyetujui sebagian persekutuan yang terjadi pada
jaman jahiliyah adalah sebagai berikut :
Para ulama telah berselisih dalam perkara hukum persekutuan ini. Di antara mereka ada yang mengatakan perkara ini telah dihapus oleh Islam dan Allah telah menggantinya dengan persaudaraan atas dasar agama. Dan juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidak ada persekutuan dalam Islam.” (Riwayat Muslim)
Para ulama telah berselisih dalam perkara hukum persekutuan ini. Di antara mereka ada yang mengatakan perkara ini telah dihapus oleh Islam dan Allah telah menggantinya dengan persaudaraan atas dasar agama. Dan juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidak ada persekutuan dalam Islam.” (Riwayat Muslim)
Di antara mereka ada yang
berpendapat tidak terhapus dalam kaitan menolong orang yang teraniaya.
Berdasarkan pendapat yang mengatakan tentang dihapusnya persekutuan tersebut
maka kalian tidak mempunyai dalil dalam penetapan sebagian persekutuan-persekutuan
jahiliyah.
Adapun berdasarkan pendapat yang
mengatakan bahwa persekutuan itu tetap (tidak dihapus) maka kami tanyakan pada
orang tersebut, apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan suatu
kerusakan dalam persetujuan beliau terhadap persekutuan-persekutuan ini? Apakah
beliau juga pernah mengalah dalam dakwahnya dengan sebab-sebab persekutuan ini?
Jika kalian mengatakan iya maka jelaskan kepada kami. Dan jika kalian
mengatakan tidak maka itu yang betul. Lantas mengapa kalian berdalil dengannya
untuk menunjukkan kebenaran sistem pemilu yang telah kami terangkan begitu
banyak kerusakannya.
Kemudian kami bertanya kepada kalian
apakah tatkala kalian katakan mengambil perkara parsial yang bermanfaat dan
benar dan disyariatkan dari sistem jahiliyah adalah tidak mengapa?
Apakah kalian mencukupkan dengan
perkara parsial yang bermanfaat menurut anggapan kalian ini? Atau kalian malah
mengambil sistem demokrasi (seluruhnya)? Dan kalian ridha mengingkari
kemungkaran menurut tata cara demokrasi?
Beritahu aku bagian-bagian demokrasi
lainnya yang kalian tidak mau tunduk dan patuh kepadanya hingga kami bisa
mengatakan bahwa kalian telah mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan
telah berlepas diri dengan lisan dan perbuatan! Jika kalian mengatakan, kami
mengingkari penentuan rakyat sebagai hakim. Saya katakan ini ucapan teoritis
belaka! Bukankah secara praktik kalian menerima pendapat mayoritas anggota di
majlis perwakilan?
Adapun Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam menghadiri persekutuan yang bermanfaat dan menetapkannya
namun tetap berlepas diri (bara’) dari setiap perkara yang menyelisihi Islam,
tidak mempraktikkannya, dan bahkan memboikot pelakunya, tempat-tempat dan
sarana-sarana yang menghantarkannya. Alangkah jauhnya pemahaman orang generasi
belakangan. Semoga Allah merahmati Salaf.
(Dinukil dari buku: Menggugat
Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa
Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate.
Sumber:
www.assunnah.cjb.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar