Bimbingan Idul Fitri
oleh Abu Umamah
Lebaran adalah hari yang tidak asing
bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Hari yang penuh suka cita, di mana
kaum muslimin dibolehkan kembali makan dan minum di siang hari setelah satu
bulan penuh berpuasa. Namun, jika kita tinjau perayaan lebaran (’Iedul Fitri)
yang telah kita laksanakan, sudah sesuaikah apa yang kita lakukan dengan
keinginan Alloh dan Rosul-Nya? Atau malah kita melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan perintah-Nya, dengan sekedar ikut-ikutan kebanyakan manusia?
Untuk mengetahui perihal ini, mari kita simak bersama bahasan berikut.
Definisi
‘Ied
Kata “Ied” menurut bahasa
Arab menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik dari sisi waktu atau
tempatnya. Kata ini berasal dari kata “Al ‘Aud” yang berarti kembali dan
berulang. Dinamakan “Al ‘Ied” karena pada hari tersebut Alloh memiliki
berbagai macam kebaikan yang diberikan kembali untuk hamba-hambaNya, yaitu
bolehnya makan dan minum setelah sebulan dilarang darinya, zakat fithri,
penyempurnaan haji dengan thowaf, dan penyembelihan daging kurban, dan lain
sebagainya. Dan terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan
berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin
Hasan).
Perlu diperhatikan, saat ini telah
menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri”
adalah kembali kepada fitroh
(suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa
maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna
“Iedul Fitri” demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithroh” (bukan ‘Iedul
Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa
Iedul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka puasa.
Dari Abu Huroiroh berkata: “Bahwasanya
Nabi shollallohu’alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Puasa itu adalah hari di
mana kalian berpuasa, dan (’iedul) fitri adalah hari di mana kamu sekalian
berbuka…’” (HR. Tirmidzi dan Abu dawud, shohih) (Majalah As Sunnah 05/I,
Ustadz Abdul Hakim). Oleh karena itu, makna yang tepat dari “Iedul Fitri”
adalah kembali berbuka (setelah sebelumnya berpuasa).
Pensyariatan
‘Ied (hari raya) Adalah Tauqifiyyah
Hari raya (tahunan) yang dimiliki
oleh kaum muslimin, hanya ada dua, yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Adakah
hari raya yang lain? Jawabnya: tidak ada. Karena pensyariatan hari raya
merupakan hak khusus Alloh ‘azza wa jalla. Suatu hari dikatakan hari raya
apabila Alloh menetapkan bahwa hari tersebut adalah hari raya (’Ied). Namun,
jika tidak, kaum muslimin tidak diperkenankan merayakan atau memperingati hari
tersebut. Alasannya adalah hadits Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam
yang diriwayatkan dari Anas rodhiyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Rosululloh
shollallohu’alaihi wa sallam datang ke Madinah dan (pada saat itu) penduduk
Madinah memiliki dua hari raya yang dipergunakan untuk bermain (dengan
permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau bersabda: ‘Aku telah datang kepada
kalian, dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa
jahiliyyah. Sungguh Alloh telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih
baik dari itu, yakni hari Nahr (’Iedul Adha) dan hari fitri (’Iedul Fitri).”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih)
Dua hari raya yang dimiliki penduduk
Madinah saat itu adalah hari Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan dengan
berbagai macam permainan. Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang yang
bijak pada zaman tersebut karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat
tepat/bagus. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Tatkala Nabi
datang, Alloh mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari raya pula yang
Alloh pilih untuk hamba-hamba-Nya. Sejak saat itu, dua hari raya yang lama
tidak diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyariatan hari raya adalah tauqifiyyah
(sesuai dengan perintah Alloh). Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari
tertentu untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari
Alloh (Al Qur’an) maupun Rosul-Nya (Al Hadits). Sehingga tidak benar, apa yang
dilakukan sebagian besar kaum muslimin saat ini, dengan melakukan berbagai
macam peringatan/perayaan yang sama sekali tidak ada tuntunannya. Di
antaranya: peringatan/perayaan maulid Nabi, Isro Mi’roj, Nuzulul Quran, hari
Kartini, hari ibu, dan hari ulang tahun.
Tuntunan
Nabi Saat Hari Raya
Perayaan ‘Iedul Fitri maupun ‘Iedul
Adha merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Alloh. Dan ibadah tidak terlepas
dari dua hal, yang semestinya harus ada, yaitu: (1) Ikhlas ditujukan hanya untuk
Alloh semata dan (2) Sesuai dengan tuntunan Rosululloh shollallohu’alaihi wa
sallam.
Ada beberapa hal yang dituntunkan
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam terkait dengan pelaksanaan hari
raya, di antaranya:
1.
Mandi Sebelum ‘Ied: Disunnahkan bersuci dengan mandi untuk
hari raya karena hari itu adalah tempat berkumpulnya manusia untuk sholat.
Namun, apabila hanya berwudhu saja, itu pun sah. (Ahkamul Iedain, Dr.
Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia). Dari Nafi’, bahwasanya Ibnu Umar
mandi pada saat ‘Iedul fitri sebelum pergi ke tanah lapang untuk sholat (HR.
Malik, sanadnya shohih). Berkata pula Imam Sa’id bin Al Musayyib, “Hal-hal
yang disunnahkan saat Iedul Fitri (di antaranya) ada tiga: Berjalan menuju
tanah lapang, makan sebelum sholat ‘Ied, dan mandi.” (Diriwayatkan oleh Al
Firyabi dengan sanad shohih, Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
2.
Makan di Hari Raya: Disunnahkan makan saat ‘Iedul Fitri sebelum
melaksanakan sholat dan tidak makan saat ‘Iedul Adha sampai kembali dari sholat
dan makan dari daging sembelihan kurbannya. Hal ini berdasarkan hadits dari
Buroidah, bahwa beliau berkata: “Rosululloh dahulu tidak keluar (berangkat)
pada saat Iedul Fitri sampai beliau makan dan pada Iedul Adha tidak makan
sampai beliau kembali, lalu beliau makan dari sembelihan kurbannya.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah, sanadnya hasan). Imam Al Muhallab menjelaskan bahwa
hikmah makan sebelum sholat saat ‘Iedul Fitri adalah agar tidak ada sangkaan
bahwa masih ada kewajiban puasa sampai dilaksanakannya sholat ‘Iedul Fitri. Seakan-akan
Rosululloh mencegah persangkaan ini. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin
Hasan).
3.
Memperindah (berhias) Diri pada Hari Raya: Dalam suatu
hadits, dijelaskan bahwa Umar pernah menawarkan jubah sutra kepada Rosululloh shollallohu’alaihi
wa sallam agar dipakai untuk berhias dengan baju tersebut di hari raya dan
untuk menemui utusan. (HR. Bukhori dan Muslim). Rosululloh shollallohu’alaihi
wa sallam tidak mengingkari apa yang ada dalam persepsi Umar, yaitu bahwa
saat hari raya dianjurkan berhias dengan pakaian terbaik, hal ini menunjukkan
tentang sunnahnya hal tersebut. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Perlu diingat, anjuran berhias saat hari raya ini tidak menjadikan seseorang
melanggar yang diharamkan oleh Alloh, di antaranya larangan memakai pakaian
sutra bagi laki-laki, emas bagi laki-laki, dan minyak wangi bagi kaum wanita.
4.
Berbeda Jalan antara Pergi ke Tanah Lapang dan Pulang
darinya: Disunnahkan mengambil jalan yang berbeda tatkala berangkat dan pulang,
berdasarkan hadits dari Jabir, beliau berkata, “Rosululloh membedakan jalan
(saat berangkat dan pulang) saat iedul fitri.” (HR. Al Bukhori). Hikmahnya
sangat banyak sekali di antaranya, agar dapat memberi salam pada orang yang
ditemui di jalan, dapat membantu memenuhi kebutuhan orang yang ditemui di
jalan, dan agar syiar-syiar Islam tampak di masyarakat. (Ahkamul Iedain,
Syaikh Ali bin Hasan). Disunnahkan pula bertakbir saat berjalan menuju tanah
lapang, karena sesungguhnya Nabi apabila berangkat saat Iedul Fitri, beliau
bertakbir hingga ke tanah lapang, dan sampai dilaksanakan sholat, jika telah
selesai sholat, beliau berhenti bertakbir. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad
yang shohih).
Diperbolehkan saling mengucapkan selamat tatkala
‘Iedul Fitri dengan “taqobbalalloohu minnaa wa minkum” (Semoga Alloh
menerima amal kita dan amal kalian) atau dengan “a’aadahulloohu ‘alainaa wa
‘alaika bil khoiroot war rohmah” (Semoga Alloh membalasnya bagi kita dan
kalian dengan kebaikan dan rahmat) sebagaimana diriwayatkan dari beberapa
sahabat. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia).
Jika
Terkumpul Hari Jum’at dan Hari Raya Dalam Satu Hari
Jika hari raya dan hari Jumat
berbarengan dalam satu hari, gugurlah kewajiban sholat Jum’at bagi orang yang
telah melaksanakan sholat ‘Ied, namun bagi Imam hendaknya tetap mengerjakan
sholat Jum’at agar dapat dihadiri oleh orang yang ingin menghadirinya dan orang
yang belum sholat ‘Ied. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Diperbolehkan
bagi mereka (kaum muslimin), jika ‘ied jatuh pada hari Jum’at untuk mencukupkan
diri dengan sholat ‘ied saja dan tidak menghadiri sholat Jumat.” (Ahkamul
Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia).
Hal-Hal
yang Terkait Sholat Ied Secara Ringkas
Karena terbatasnya jumlah halaman,
berikut kami ringkaskan hal-hal yang terkait dengan sholat ‘Ied, di antaranya:
1.
Dasar disyari’atkannya: QS. Al Kautsar ayat 2, dan hadits
dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Aku ikut melaksanakan sholat ‘Ied bersama
Rosululloh, Abu Bakar dan Umar, mereka mengerjakan sholat ‘Ied sebelum
khutbah.” (HR. Buhori dan Muslim)
2.
Hukum sholat ‘Ied: Fardhu ‘Ain, menurut pendapat
terkuat.
3.
Waktu sholat ‘Ied: Antara terbit matahari setinggi tombak
sampai tergelincirnya matahari (waktu Dhuha), menurut kebanyakan ulama.
4.
Tempat dilaksanakannya: Disunnahkan di tanah lapang di luar
perkampungan (berdasarkan perbuatan Nabi), jika terdapat udzur dibolehkan di
masjid (berdasarkan perbuatan Ali bin Abi Tholib).
5.
Tata cara sholat ‘Ied: Dua roka’at berjama’ah, dengan tujuh
takbir di roka’at pertama (selain takbirotul ihrom) dan lima takbir di
roka’at kedua (selain takbir intiqol -takbir berpindah dari rukun yang
satu ke rukun yang lain).
6.
Adzan dan iqomah pada sholat ‘Ied: Tidak ada adzan dan
iqomah, atau seruan apapun sebelum dilaksanakan sholat karena tidak adanya
dalil untuk hal tersebut.
7.
Khutbah pada sholat ‘Ied: Satu kali khutbah tanpa diselingi
dengan duduk, menurut pendapat yang terkuat.
8.
Qodho’ sholat ‘Ied jika terluput: Tidak perlu meng-qodho’,
menurut pendapat yang terkuat.
Kemungkaran
yang Biasa Dilakukan Tatkala ‘Iedul Fitri
1.
Tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang kafir dalam pakaian dan
mendengarkan musik/nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita yang
masih kecil). Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR.
Ahmad, sanadnya hasan) dan sabda Nabi yang lain, “Akan datang sekelompok
orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian
sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…”
(HR. Al Bukhori secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini
shohih dan bersambung sesuai syarat shohih). Dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu
‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang
tidak bermanfaat) dalam surat Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘
(nyanyian).
2.
Tabarruj-nya
(memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa
keperluan yang dibenarkan syariat agama. Hal tersebut diharamkan di dalam
syari’at ini, di mana Alloh berfirman, “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah)
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…”
(QS. Al Ahzab: 33). Dalam suatu hadits disebutkan bahwa ada dua golongan dari
ahli neraka yang tidak pernah dilihat oleh Nabi: “….salah satu di antaranya
adalah wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang (tidak menutup seluruh
tubuhnya, atau berpakaian namun tipis, atau berpakaian ketat) yang
melenggak-lenggokkan kepala. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan
mencium bau surga.” (HR. Muslim)
3.
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena
ini merupakan musibah yang sudah sangat merata. Tidak ada yang selamat dari
musibah ini kecuali yang dirohmati Alloh. Padahal perbuatan ini adalah haram
berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam, “Sungguh,
seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada
dia menyentuh wanita yang tidak halal dia sentuh.” (lihat Silsilah Al
Ahadits As Shohihah 226) (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
4.
Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘Ied. Tidak
terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah Alloh ataupun tuntunan Nabi
untuk ziarah ke kubur pada saat ‘Iedul Fitri. Ziarah kubur memang termasuk
ibadah yang disyariatkan, namun, pengkhususan waktu untuk ziarah saat ‘Iedul
Fitri membutuhkan dalil. Jika tidak terdapat dalil, perbuatan tersebut bukan
tuntunan Nabi dan tidak boleh dilaksanakan. Rosululloh shollallohu’alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal suatu amalan (untuk tujuan
ibadah) di mana tidak termasuk dalam urusan kami, maka amalnya tersebut
tertolak (tidak akan diterima).” (HR. Muslim)
5.
Begadang saat malam ‘Iedul Fitri. Banyak di antara kaum
muslimin yang menghidupkan malam ‘Ied dengan takbir via mikrofon. Hal ini
sangat mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat. Hukum mengganggu
orang lain adalah haram. Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam
bersabda, “Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya
dengan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim). Sehingga jika memang hendak
bertakbir, hendaknya tidak dengan suara yang keras. Ada lagi di antara kaum
muslimin yang menjadikan malam ‘Ied untuk begadang dengan bermain catur, kartu
atau sekedar ngobrol tanpa tujuan. Akibatnya, tatkala pagi datang, kebanyakan
dari mereka sulit menjalankan sholat subuh secara berjamaah. Bahkan ada yang
sampai ogah-ogahan menjalankan sholat ‘Ied.
Demikian, semoga tulisan ini
bermanfaat. Semoga Alloh memberikan balasan yang baik bagi yang menulis,
membaca, dan yang menyebarkannya.
***
Penulis: Adid Adep Dwiatmoko
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar