Berbicara tentang berbakti kepada
orang tua tidak lepas dari permasalahan berbuat baik dan mendurhakainya.
Mungkin, sebagian orang merasa lebih ‘tertusuk’ hatinya bila disebut ‘anak
durhaka’, ketimbang digelari ‘hamba durhaka’. Bisa jadi, itu karena
‘kedurhakaan’ terhadap Allah, lebih bernuansa abstrak, dan kebanyakannya, hanya
diketahui oleh si pelaku dan Allah saja. Lain halnya dengan kedurhakaan
terhadap orang tua, yang jelas amat kelihatan, gampang dideteksi, diperiksa dan
ditelaah,sehingga lebih mudah mengubah sosok pelakunya di tengah masyarakat,
dari status sebagai orang baik menjadi orang jahat.
Pola berpikir seperti itu, jelas
tidak benar, karena Allah menegaskan dalam firman-Nya, (yang artinya) :
“Allah telah menetapkan agar
kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti
kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Penghambaan diri kepada Allah, jelas
harus lebih diutamakan. Karena manusia diciptakan memang hanya untuk tujuan
itu. Namun, ketika Allah ‘menggandengkan’ antara
kewajibanmenghamba kepada-Nya, dengan kewajiban berbakti kepada
orang tua, hal itu menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua memang
memiliki tingkat urgensi yang demikian tinggi, dalam Islam. Kewajiban itu
demikian ditekankan, sampai-sampai Allah menggandengkannya dengan kewajiban
menyempurnakan ibadah kepada-Nya.
Urgensi
Berbakti kepada Dua orang Tua
Ada setumpuk bukti, bahwa berbakti
kepada kedua orang tua –dalam wacana Islam- adalah persoalan utama, dalam
jejeran hukum-hukum yang terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia.
Allah sudah cukup mengentalkan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak
firman-Nya, demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dalam
banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat
diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Allah
‘menggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah
berbuat baik kepada orang tua:
“Allah telah menetapkan agar
kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti
kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
2. Allah
memerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun
mereka kafir:
“Kalau mereka berupaya mengajakmu
berbuat kemusyrikan yang jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu,
jangan turuti; namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.”
(Luqmaan : 15)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat
di atas menunjukkan diharuskannya memelihara hubungan baik dengan orang tua,
meskipun dia kafir. Yakni dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila
mereka tidak membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..[1]“
3.
Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad.
Abdullah bin Amru bin Ash
meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah
dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
4. Taat
kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.”
Salah seorang Sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya,
atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun
tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim)
Beliau juga pernah bersabda:
“Orang tua adalah ‘pintu
pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak
mau, silakan untuk tidak memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi,
dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan
shahih, oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni
pintu terbaik.
5.
Keridhaan Allah, berada di balik keridhaan orang tua.
“Keridhaan Allah bergantung pada
keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah, bergantung pada kemurkaan kedua
orang tua[2].”
6.
Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa.
Ada seorang lelaki datang menemui
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sambil mengadu, “Wahai
Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau
masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?”
Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.”
Dalam pengertian yang ‘lebih kuat’,
riwayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama
kepada ibu, dapat membantu proses taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti
kepada orang tua adalah amal ibadah yang paling utama.
7.
Berbakti kepada orang tua, membantu menolak musibah.
Hal itu dapat dipahami melalui kisah
‘tiga orang’ yang terkurung dalam sebuah gua. Masing-masing berdoa kepada Allah
dengan menyebutkan satu amalan yang dianggapnya terbaik dalam hidupnya, agar
menjadi wasilah (sarana) terkabulnya doa. Salah seorang di
antara mereka bertiga, mengisahkan tentang salah satu perbuatan baiknya
terhadap kedua orang tuanya, yang akhirnya, menyebabkan pintu gua terkuak, batu
yang menutupi pintunya bergeser, sehingga mereka bisa keluar dari gua tersebut.
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
8.
Berbakti kepada orang tua, dapat memperluas rezki.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar
usianya diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali
silaturahim.” (Al-Bukhari dan Muslim)
Berbakti kepada kedua orang tua
adalah bentuk aplikasi silaturahim yang paling afdhal yang bisa dilakukan
seorang muslim, karena keduanya adalah orang terdekat dengan kehidupannya.
9. Doa
orang tua selalu lebih mustajab.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim
disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada
tiga bentuk doa yang amat mustajab, tidak diragukan lagi: Doa orang tua untuk
anaknya, doa seorang musafir dan orang yang yang terzhalimi.”
10. Harta
anak adalah milik orang tuanya.
Saat ada seorang anak mengadu kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah! Ayahku telah
merampas hartaku.” Rasulullah bersabda, “Engkau dan juga hartamu, kesemuanya
adalah milik ayahmu[3].”
11. Jasa
orang tua, tidak mungkin terbalas.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
“Seorang anak tidak akan bisa
membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai budak,
lalu dia merdekakan.” (Dikeluarkan oleh Muslim)
12.
Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.
Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kalian
kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mau,
wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat
syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil
bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..”
Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat)
berharap beliau segera terdiam. (Al-Bukhari dan Muslim)
13. Orang
yang durhaka terhadap orang tua, akan mendapatkan balasan ‘cepat’ di dunia,
selain ancaman siksa di akhirat[4].
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Ada dua bentuk perbuatan dosa yang pasti mendapatkan
hukuman awal di dunia: Memberontak terhadap pemerintahan Islam yang sah, dan
durhaka terhadab orang tua[5].”
Alhamdulillah. Kesemua bukti
tersebut –dan masih banyak lagi bukti-bukti ilmiah lainnya, termasuk konsensus
umat Islam terhadap urgensi berbakti kepada orang tua yang sama sekali tidak
boleh terabaikan–, kesemuanya, menunjukkan betapa bakti kepada orang tua adalah
kebajikan maha penting, bahkan yang terpenting dari sekian banyak perbuatan
baik yang diperuntukkan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah. Sedemikian
pentingnya, hingga riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang adab, prilaku dan
sikap seorang anak terhadap orang tuanya, bertaburan dalam banyak hadits-hadits
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, bahkan juga dalam beberapa ayat
Al-Qur’an.
Memuliakan
Orang Tua
Pemuliaan Islam terhadap sosok orang
tua, amat lugas. Wujud pemuliaan itu sudah beberapa langkah mendahului gemuruh
propaganda sejenis, yang baru-baru saja muncul belakangan ini, dari kalangan
Barat. Sebut saja contohnya: jaminan untuk kaum manula, perhatian
terhadap kaum jompo dan lain sebagainya. Kenapa demikian? Karena Islam
sudah jauh-jauh hari langsung menghadirkan ‘perintah tegas’ bagi seorang
mukmin, untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
“Telah kami pesankan seorang
manusia untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya.”
(Al-Ahqaaf : 15)
Ibnu Katsier menjelaskan, “Dalam
ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orang
tua, sekaligus juga melimpahkan kasih sayang kita kepada mereka[6].”
“Beribadahlah kepada Allah,
jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada
kedua orang tua.” (An-Nisaa : 36)
Perintah itu, bahkan diseiringkan
dengan perintah untukmengesakan Allah sebagai kewajiban utama seorang
mukmin. Sehingga amatlah jelas, perintah itu mengandung ‘tekanan’ yang demikian
kuat.
Sekarang, bandingkanlah
substansi ajaran Islam itu dengan realitas yang berkembang di berbagai negara
di dunia, termasuk di Indonesia sekarang ini. Banyak anak yang enggan menyisihkan
sebagian waktunya, mengucurkan keringat atau sekadar berlelah-lelah sedikit,
untuk merawat orang tuanya yang sudah ‘uzur’. Terutama sekali, bila anak
tersebut sudah berkedudukan tinggi, sangat sibuk dan punya segudang aktivitas.
Akhirnya, ia merasa sudah berbuat segalanya dengan mengeluarkan biaya
secukupnya, lalu memasukkan si orang tua ke panti jompo!!
Berbuat
Baik Kepada Orang Tua
“..dan hendaklah kalian berbuat
baik kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Berbuat baik dalam katagori umum,
dalam bahasa Arabnya disebut ihsaan. Sementara bila ditujukan
secara khusus kepada orang tua, lebih dikenal dengan istilah birr.
Dalam segala bentuk hubungan interaktif, Islam sangatlah
menganjurkan ihsan atau kebaikan.
“Sesungguhnya Allah menetapkan
kebaikan, untuk dilakukan dalam segala hal. Bila kalian membunuh, lakukanlah
dengan cara yang baik. Bila kalian menyembelih hewan, lakukanlah dengan cara
baik. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim menyiapkan pisau yang tajam, dan
upayakan agar hewan sembelihan itu merasa lebih nyaman[7].”
Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan,
“Allah berpesan agar setiap orang melakukan bakti kepada orang tua dengan
berbagai bentuk perbuatan baik. Namun kepada selain orang tua, Allah hanya
memesankan ’sebagian’ bentuk kebaikan itu saja. “Katakanlah yang baik, kepada
manusia.” (Al-Baqarah : 83)
Orang tua adalah manusia yang paling
berhak mendapatkan danmerasakan ‘budi baik’ seorang anak, dan lebih pantas
diperlakukan secara baik oleh si anak, ketimbang orang lain. Ada beragam cara
yang bisa dilakukan seorang muslim, untuk ‘mengejawantahkan’ perbuatan baiknya
kepada kedua orang tuanya secara optimal. Beberapa hal berikut, adalah
langkah-langkah dan tindakan praktis yang memang sudah ’seharusnya’ kita
lakukan, bila kita ingin disebut ‘telah berbuat baik’ kepada orang tua:
1. Bersikaplah secara baik,
pergauli mereka dengan cara yang baik pula, yakni dalam berkata-kata, berbuat,
memberi sesuatu, meminta sesuatu atau melarang orang tua melakukan suatu hal
tertentu.
2. Jangan mengungkapkan
kekecewaan atau kekesalan, meski hanya sekadar dengan ucapan ‘uh’. Sebaliknya,
bersikaplah rendah hati, dan jangan angkuh.
3. Jangan bersuara lebih keras
dari suara mereka, jangan memutus pembicaraan mereka, jangan berhohong saat
beraduargumentasi dengan mereka, jangan pula mengejutkan mereka saat sedang
tidur, selain itu,jangan sekali-kali meremehkan mereka.
4. Berterima kasih atau
bersyukurlah kepada keduanya, utamakan keridhaan keduanya, dibandingkan
keridhaan kita diri sendiri, keridhaan istri atau anak-anak kita.
5. Lakukanlah perbuatan baik
terhadap mereka, dahulukan kepentingan mereka dan berusahalah ‘memaksa diri’
untuk mencari keridhaan mereka.
6. Rawatlah mereka bila sudah
tua, bersikaplah lemahlembut dan berupayalah membuat mereka berbahagia, menjaga
mereka dari hal-hal yang buruk, serta menyuguhkan hal-hal yang mereka sukai.
7. Berikanlah nafkah
kepada mereka, bila memang dibutuhkan. Allah berfirman:
“Dan apabila kalian menafkahkan
harta, yang paling berhak menerimanya adalah orang tua, lalu karib kerabat yang
terdekat.” (Al-Baqarah : 215)
8. Mintalah ijin kepada
keduanya, bila hendak bepergian, termasuk untuk melaksanakan haji, kalau bukan
haji wajib, demikian juga untuk berjihad, bila hukumnya fardhu kifayah.
9. Mendoakan mereka,
seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan ucapanlah, “Ya Rabbi,
berikanlah kasih sayang kepada mereka berdua, sebagaimana menyayangiku di masa
kecil.” (Al-Isra : 24)[8]
Semua hal di atas bukanlah
’segalanya’ dalam upaya berbuat baik terhadap orang tua. Kita teramat sadar,
bahwa ‘hak-hak’ orang tua, jauh lebih besar dari kemampuan kita membalas
kebaikan mereka. Mungkin lebih baik kita tidak usah terlalu berbangga diri,
kalaupun segala hal diatas telah dapat kita wujudkan dalam kehidupan nyata.
Karena orang tua adalah manusia yang pertama kali berbuat baik kepada kita,
karena dorongan kasih sayang dan –terlebih-lebih– penghambaan dirinya
kepada Allah. Sementara kita hanya memberi balasan, setelah terlebih dahulu
kita menerima kebaikan dari mereka. Sehingga, bagaimanapun, nilainya jelas akan
berbeda.
Arti Birrul
Waalidain
Perlu ditegaskan kembali,
bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih
dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul
walidain memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna
kebaikan tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu
sendiripun bukanlah balasan yang setara yang dapat mengimbangi kebaikan orang
tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai orang yang
bersyukur.
Imam An-Nawaawi menjelaskan,
“Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua,
bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka
bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.”
Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan
bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat
direalisasikan dengan memenuhi tidak bentuk kewajiban:
Pertama: Menaati segala perintah orang tua,
kecuali dalam maksiat.
Kedua: Menjaga amanah harta yang
dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua.
Ketiga: Membantu atau menolong orang tua,
bila mereka membutuhkan.
Bila salah satu dari ketiga kriteria
itu terabaikan, niscaya seseorang belum layak disebut telah berbakti kepada
orang tuanya.
Karena berbakti kepada kedua orang
tua lebih merupakan perjanjian, antara sikap kita dengan keyakinan kita. Kita
tahu, bahwa menaati perintah orang tua adalah wajib, selama bukan untuk
maksiat. Bahkan perintah melakukan yang mubah, bila itu keluar dari mulut orang
tua, berubah menjadi wajib hukumnya. Kita juga tahu, bahwa harta orang tua
harus dijaga, tidak boleh dihamburkan secara percuma, atau bahkan untuk berbuat
maksiat. Kita juga meyakini, bahwa bila orang tua kita kekurangan atau
membutuhkan pertolongan, kitalah orang pertama yang wajib menolong mereka.
Namun itu hanya sebatas keyakinan. Bila tidak ada ‘ikatan janji’ dengan sikap
kita, semua itu hanya terwujud dalam bentuk wacana saja, tidak bisa terbentuk
menjadi ‘bakti’ terhadap orang tua. Oleh sebab itu, Allah menyebut kewajiban
bakti itu sebagai ‘ketetapan’, bukan sekadar ‘perintah’. “Allah
telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya;
dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Jangan
Mendurhakainya!
Mendurhakai orang tua adalah dosa
besar. Dan berbuat durhaka terhadap ibu adalah dosa yang jauh lebih besar lagi.
Melalui pelbagai penjelasan Islam tentang ‘kewajiban kita’ terhadap sang
ibunda, kita dapat menyadari bahwa berbuat durhaka terhadapnya adalah sebuah
tindakan paling memalukan yang dilakukan seorang anak berakal.
Imam An-Nawawi menjelaskan,
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan keharusan berbuat
baik kepada ibu sebanyak tiga kali, baru pada kali yang keempat untuk sang
ayah, karena kebanyakan sikap durhaka dilakukan seorang anak, justru terhadap
ibunya[9].”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan
sikap durhaka terhadap ibu danmelarang mengabaikan orang yang hendak
berhutang. Allah juga melarang menyebar kabar burung, terlalu banyak
bertanya dan membuang-buang harta[10].”
Ibnu Hajar memberi penjelasan
sebagai berikut, “Dalam hadits ini disebutkan ’sikap durhaka’ terhadap ibu,
karena perbuatan itu lebih mudah dilakukan terhadap seorang ibu.
Sebab, ibu adalah wanita yang lemah. Selain itu, hadits ini juga memberi
penekanan, bahwa berbuat baik kepada itu harus lebih didahulukan daripada
berbuat baik kepada seorang ayah, baik itu melalui tutur kata yang lembut, atau
limpahan cinta kasih yang mendalam[11].”
Sementara, Imam Nawawi menjelaskan,
“Di sini, disebutkan kata ‘durhaka’ terhadap ibu, karena kemuliaannya yang
melebihi kemuliaan seorang ayah[12].”
Kapan seseorang disebut durhaka?
Imam Ash-Shan’aani menjelaskan, “Imam Al-Bulqaini menerangkan bahwa arti
kata durhaka yaitu: apabila seseorang melakukan sesuatu
yang tidak remeh menurut kebiasaan, yang menyakiti orang tuanya atau salah satu
dari keduanya. Dengan demikian, berdasarkan definisi itu, bila seorang anak
tidak mematuhi perintah atau larangan dalam urusan yang sangat sepele yang
menurut hukum kebiasaan itu tidak dianggap ‘durhaka’, maka itu bukan termasuk
kategori perbuatan durhaka yang diharamkan. Namun bila seseorang
melakukan pelanggaran terhadap larangan orang tua dengan melakukan perbuatan
dosa kecil, maka yang dilakukannya menjadi dosa besar, karena kehormatan
larangan orang tua. Demikian juga, disebut durhaka, bila seorang anak melanggar
larangan orang tua yang bertujuan menyelamatkan si anak dari kesulitan[13].”
Ibnu Hajar Al-Haitsami menjelaskan,
“Kalau seseorang melakukan perbuatan yang kurang adab dalam pandangan umum,
yang menyinggung orang tuanya, maka ia telah melakukan dosa besar, meskipun
bila dilakukan terhadap selain orang tua, tidaklah dosa. Seperti memberikan
sesuatu dengan dilempar, atau saat orang tuanya menemuinya di tengah orang
ramai, ia tidak segera menyambutnya, dan berbagai tindakan lain yang di
kalangan orang berakal dianggap ‘kurang ajar’, dapat sangat menyinggung
perasaan orang tua[14].”
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan,
“Arti durhaka kepada orang tua yaitu melakukan perbuatan yang menyebabkan orang
tua terganggu atau terusik, baik dalam bentuk ucapan ataupun amalan..[15]“
Imam Al-Ghazali menjelaskan,
“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa taat kepada orang tua wajib, termasuk dalam
hal-hal yang masih syubhat, namun tidak boleh dilakukan dalam
hal-hal haram. Bahkan, seandainya keduanya merasa tidak nyaman bila makan
sendirian, kita harus makan bersamamereka. Kenapa demikian? Karena menghindari
syubhat termasuk perbuatanwara’ yang bersifat keutamaan, sementara
mentaati kedua orang tua adalah wajib. Seorang anak juga haram bepergian untuk
tujuan mubah ataupun sunnah, kecuali dengan ijin kedua orang tua. Melakukan
haji secepat-cepatnya bahkan menjadi sunnah, bila orang tua tidak menghendaki.
Karena melaksanakan haji bisa ditunda, dan perintah orang tua tidak bisa
ditunda. Pergi untuk menuntut ilmu juga hanya menjadi anjuran, bila
orang tua membutuhkan kita, kecuali, untuk mempelajari hal-hal yang wajib,
seperti shalat dan puasa, sementara di daerah kita tidak ada orang yang mampu
mengajarkannya..[16]“
Seringkali seorang anak membela diri
saat dikecam sebagai anak yang durhaka terhadap ibunya, dengan pelbagai alasan
yang dibuat-buat, atau sekadar mengalihkan perhatian kepada soal lain.
‘Seharusnya kan orang tua itu lebih tahu,’ ‘Seharusnya seorang ibu mengerti
perasaan anak,’ ‘Seharusnya seorang ibu itu lebih bijaksana daripada anaknya,’
‘Seharusnya seorang ibu tidak boleh memaksakan kehendak,’ dan berbagai alasan
kosong lainnya. Yah, taruhlah, dalam suatu kasus, si ibu memang melakukan
kesalahan, dengan memaksakan kehendaknya, atau bersikap kurang bijaksana. Namun
saat si anak membantah perintah atau larangan ibunya, apalagi dia mengerti
bahwa yang dikehendaki oleh ibunya itu adalah baik, meski kurang tepat, tidak
pelak lagi, si anak telah berbuat durhaka. Di sinilah seharusnya ‘kunci
kesabaran’ dan tingkat ‘kesadaran’ terhadap syariat Allah, juga penghormatan
terhadap orang tua, dapat menggeret seseorang mengambil jalan mengalah,
meskipun ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk harta, dan juga
cita-citanya. Selama hal itu dapat membahagiakan sang ibu, seharusnya ia
berusaha untuk memenuhi kehendaknya.
Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsan
menegaskan, “Apabila kita sudah menyadari betapa besar hak seorang ibu terhadap
anaknya, dan betapa besar dosa perbuatan durhaka terhadapnya, atau dosa sekadar
lalai memperhatikannya,cobalah, segera berbakti kepadanya, maafkan segala
kekeliruannya di masa lampau, berusaha dan berusahalah untuk selalu menjalin
hubungan baik dengannya. Berusahalah untuk menyenangkannya, dan dahulukan upaya
memperhatikannya daripada segala hal yang kita sukai. Berupayalah untuk
memenuhi kebutuhannya selekas mungkin, jangan sampai menyusahkannya. Ingatlah
firman Allah:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Israa
: 24)
Ketika
orang tua telah berusia senja.
Pada saatnya, usia juga yang
membatasi kepawaian seorang ibu mengasuh anaknya. Kasih ibu, memang
tak dapat dihentikan sang waktu. Namun sebagai manusia, kekuatannya tidak
pernah abadi. Akhirnya, sang ibu harus melalui juga masa-masa yang belum pernah
dibayangkan selama ini. Kulitnya mulai keriput, tenaganya mulai jauh berkurang,
tulang-tulangnyapun mulai terasa rapuh, suaranya berubah menjadi sengau,
tak mampu menyetabilkan nada yang keluar. Saat itulah, ia mulai sangat
membutuhkan belaian kasih sang anak. Ia mulai memerlukan adanya orang lain di
sisinya, untuk menyelesaikan segala hal, termasuk pekerjaan-pekerjaan ringan
sekalipun, yang selama ini bisa dia selesaikan seorang diri. Saat itulah, bakti
seorang anak menjadi suatu hal yang teramat dibutuhkan:
“ Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah:”Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Al-Isra : 23-24)
Saat usia semakin tua, bisa jadi
kepekaan seorang ibu bertambah. Ia lebih mudah tersinggung, lebih mudah
melampiaskan amarahnya, lebih mudah tersentuh hatinya hanya oleh kata-kata atau
ucapan, yang bila itu diucapkan seorang anak di waktu mudanya, tidak akan
diperdulikan sama sekali. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memberikan bimbingan yang
demikian santun, agar seorang anak membiasakan diri berbicara dan bersikap
secara mulai, santun dan terpuji, terhadap kedua orang tuanya, terutama sekali
ibunya.
Suatu hari, Rasulullah naik ke atas
mimbar, lalu beliau berkata: “Amin, amin, amin.” Kontan, seorang Sahabat
bertanya: “Kenapa engkau mengucapkan amin, amin dan amin, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Tadi datang Jibril menemuiku, lalu ia berkata: “Barangsiapa
yang menjumpai bulan Ramadhan, lalu ia tidak mendapatkan ampunan Allah,
maka ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun
berkata: ‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendapatkan salah
seorang dari kedua orang tuanya, atau keduanya, pada saat mereka sudah berusia
lanjut, namun ia tidak berkesempatan berbakti kepada mereka, maka ia pasti
masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.’
Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendengar namaku (Nabi Muhammad)
disebutkan, lalu ia tidak membaca shalawat untukku, maka bila ia mati, ia
pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata:
‘Amin.[17]‘
Saat
Ibunda Telah Wafat
Ada beberapa wujud manefestasi cinta
kasih kepada sang bunda, yang masih dapat kita lakukan saat sang bunda sudah
terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Semua bentuk implementasi cinta kasih
itu pada dasarnya lebih bersifat tugas dan kewajiban kita. Dengan atau tanpa
muatan cinta kasih, semua tugas itu harus kita pikul. Namun adalah kenistaan,
bila kita melaksanakan semuanya tanpa landasan cinta kepadanya. Berikut ini,
penulis paparkan beberapa di antaranya:
Pertama:
Melaksanakan perjanjian dan pesan sang bunda.
Diriwayatkan dari Syaried bin Suwaid
Ats-Tsaqafi, bahwa ia menuturkan, “Wahai Rasulullah! Ibuku pernah berpesan
kepadaku untuk memerdekakan seorang budak wanita yang beriman. Aku memiliki
seorang budah wanita berkulit hitam. Apakah aku harus memerdekakannya?”
“Panggil dia.” Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Saat wanita
itu datang, beliau bertanya, “Siapa Rabbmu?” Budak wanita itu menjawab,
“Allah.” “Lalu, siapa aku?” Tanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
lagi. Wanita itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam.” Beliaupun bersabda, “Merdekakan dia. Karena dia adalah wanita
mukminah[18].”
Kedua:
Mendoakan sang ibu, membacakah shalawat dan memohonkan ampunan baginya.
Ibnu Rabi’ah meriwayatkan: Saat kami
sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah bertanya, “Wahai
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam! Apakah masih tersisa bakti
kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal dunia?” Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menjawab, “Ya. Bacakanlah shalat untuk mereka, mohonkanlah
ampunan untuk mereka, tunaikan perjanjian mereka, peliharalah silaturahim yang
biasa dipelihara kala mereka masih hidup, juga, hormati teman-teman mereka[19].”
Abu Hurairah meriwayatkan:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya, Allah
Azza wa Jalla bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di Surga
kelak. Si hamba itu akan bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana aku bisa mendapatkan
derajat sehebat ini?” Allah berfirman, “Karena permohonan ampun dari anakmu[20].”
Salah satu dari tanda cinta kasih
kita kepada ibu adalah munculnya pengharapan agar si ibu selalu hidup berbahagia.
Bila ia sudah meninggal dunia, kita juga senantiasa mendoakannya, membacakan
shalat untuknya serta memohonkan ampunan untuknya. Semua perbuatan tersebut
bukanlah hal-hal yang remeh. Dan juga, amat jarang anak yang mampu secara
telaten melakukan semua kebajikan tersebut. Padahal, ditinjau dari segi
kelayakan, dan segi kesempatan serta kemampuan, sudah seyogyanya setiap anak
berusaha melakukannya. Dari kwantitas, semua amalan tersebut tidak membutuhkan
banyak waktu. Sekadar perhatian dan kesadaran, yang memang sangat dituntut.
Bila seorang anak merasa sangat kurang berbakti kepada kedua orang tuanya,
inilah kesempatan yang masih terbuka lebar, untuk menutupi kekurangan tersebut,
selama hayat masih dikandung badan.
Ketiga:
Memelihara hubungan baik, dengan teman dan kerabat ibu.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tetap ingin menjaga hubungan
silaturahim dengan ayahnya yang sudah wafat, hendaknya ia menjaga hubungan baik
dengan teman-teman ayahnya yang masih hidup[21].”
Keempat:
Melaksanakan beberapa ibadah untuk kebaikan sang ibu.
Sa’ad bin Ubadah pernah bertanya,
“Ibuku sudah meninggal dunia. Sedekah apa yang terbaik, yang bisa kulakukan untuknya?”
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Air. Gali saja
sumur. Lalu katakan: ‘pahala penggunaan sumur ini, untuk ibu Saad[22].”
Demikianlah sekilas tentang hubungan
dengan ibu yang menjadi salah satu dari kedua orang tua, sengaja dibatasi
pembahasan ini hanya seputar ibu, agar lebih singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com
[1] Tafsir Al-Qurthubi XIV : 65.
[2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau
berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh
Al-Albani. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Al-Awsath
[3] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah,
dinyatakan shahih oleh Al-Albani
[4] Dicuplik dari wa bil waalidain ihsaana oleh
Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin – Select.Islamiy.com.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Hakim, dinyatakan shahih
oleh Al-Albani.
[6] Lihat Tafsir Al-Qur’aan Al-’Azhiem IV :
159.
[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah II : 1058, dari
hadits Syaddad bin Aus.
[8] Dicuplik dari makalah Birrul Waalidain oleh
Abdurrahman Abdul Kariem Al-Ubaid – select.Islamy.com
[9] Lihat Syarah Muslim oleh Imam An-Nawaawi I :
194.
[10] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari VI :
331, Muslim III : 1341, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya XII : 36.
[11] Lihat Fathul Baari V : 68.
[12] Syarah Muslim XII : 11.
[13] Lihat Subulus Salaam IV : 162.
[14] Az-Zawaajir II : 73.
[15] Lihat Fathul Baari I : 420.
[16] Lihat Ihyaa ‘Ulumuddien oleh Imam
Al-Ghazali. Buku ini mengandung berbagai pelajaran akhlak yang baik. Sayang,
terlalu banyak mengandung hadits-hadits lemah dan palsu, selain mengandung
pengajaran tasawuf yang menyimpang dari pemahaman yang benar. Para ulama banyak
memperingatkan terhadap bahaya kitab ini. Namun mereka juga masih sering
menukil beberapa persoalan akhlak, dari buku ini. Untuk itu, kami juga
memperingatkan agar menghindari membaca buku ini, kecuali bagi penuntu ilmu
yang mapan atau ulama yang sudah bisa memilah-milah yang baik dengan yang
tidak.
[17] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (904, oleh
Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (646) dan Ibnu Khuzaimah (1888)
[18] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaai.
[19] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak IV : 155, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih berdasarkan
system periwayatan Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkan
hadits tersebut. Adz-Dzahabi berkata, “Shahih.”
[20] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani
dalam Al-Awsath. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id X : 210.
[21] Diriwayatkan oleh Abu Ya’la. Lihat
penjelasannya dalam Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah nomor 1342.dengan
[22] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaa-ie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar