dari At Tauhid
edisi VII/22
Oleh: Abu
Abdillah Al-Kautsary
Ibadah
merupakan perkara agung yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada setiap
makhluknya. Karena tujuan utama dibalik penciptaan jin dan manusia adalah untuk
beribadah kepada Allah…
Ibadah
sendiri tidaklah terbatas pada amalan fisik atau yang tampak semata sebagaimana
shalat, zakat, puasa, haji, dll.
Akan tetapi ibadah juga menyangkut amalan
amalan batin seperti berharap, takut, tawakkal, nadzar, benci, cinta, dll.
Karena definisi ibadah sendiri adalah segala hal yang Allah Ta’ala
cintai dan sukai baik dalam bentuk perkataan maupun amal perbuatan yang
bersifat fisik/lahir maupun non-fisik/batin
Ibadah
juga haruslah (1) diniatkan ikhlas kepada Allah saja dan (2) sesuai dengan yang
rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam contohkan. Keikhlasan itu
sendiri akan terwujud dengan sempurna apabila ditopang oleh 3 pilar penting,
yaitu cinta, harap dan takut.
Cinta
yang bernilai ibadah
Cinta
tidak terbatas pada kasih sayang dengan lawan jenis, tidak pula sebatas kasih
sayang antara orang tua dengan anak. Akan tetapi kecenderungan manusia kepada
harta, jabatan dan kedudukan juga termasuk dalam bentuk cinta. Cinta seperti
ini merupakan tabiat manusia. Seseorang tidak diganjar pahala atas kecintaan
seperti ini melainkan jika dilandasi dengan kecintaan kepada Allah dan
rasul-Nya.
Bahkan
seseorang akan terkena ancaman Allah jika bentuk cintanya yang bersifat tabiat
mengalahkan kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya sebagaimana firman Allah
(yang artinya): “Katakanlah! Apakah orang tuamu, anak-anakmu,
saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu dan juga harta-harta yang kamu
usahakan serta perdagangan yang kamu takut rugi dan rumah-rumah yg kamu sukai
lebih engkau cintai dari Allah dan rasul-Nya dan juga jihad di jalan Allah.
Maka tunggulah! Hingga Allah memberi keputusan-Nya. Allah tidaklah memberi
hidayah kepada orang-orang yang berbuat fasik” (QS. At-Taubah: 24)
Sangatlah
wajar apabila seseorang yang sedang jatuh cinta, berusaha mencintai segala hal
yang dicintai oleh kekasihnya. Dan ia juga berusaha untuk menjauhi segala hal
yang menimbulkan rasa benci kekasihnya itu. Demikian pula halnya apabila kita
mengaku mencintai Allah maka sudah selayaknya bagi kita untuk ikut cinta dengan
segala yang Allah cintai dan benci terhadap segala yang Allah benci. “Katakanlah
(wahai muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).” Inilah bentuk cinta sejati dan
bernilai paling tinggi. Karena cinta seperti inilah yang akan mengundang
kecintaan Allah kepada kita dan ampunan-Nya atas dosa yang kita perbuat.
Harap
dalam Ibadah
Harap
yang termasuk dalam ibadah, merupakan bentuk perasaan menginginkan atau
mengidam-idamkan sesuatu yang disukai. Di dalamnya terkandung rasa perendahan
diri dan tunduk yang hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Sehingga jika
ditujukan kepada selain Allah menyebabkan kesyirikan.
Harapan
ada 2 macam: [1] Harap yang terpuji. Sebagaimana orang yang mengharapkan
ampunan dan surga dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan. Atau
pelaku maksiat yang berharap ampunan dengan tobatnya. [2] Harap yang tercela.
Harapan yang digantungkan seorang pelaku maksiat untuk mendapatkan ampunan
Allah, akan tetapi ia masih saja berkubang dalam kemaksiatannya.
Rasa
harap itu terpuji jika diiringi usaha. Hal tersebut berdasarkan firman Allah
(yang artinya): “Orang-orang yang beriman dan yang berhijrah serta berjihad
di jalan Allah, merekalah orang-orang yang mengharap rahmat Allah, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218) Ibnul-Qayim berkata
: “Orang-orang yang arif sepakat bahwa tidaklah sempurna rasa harap
tanpa adanya usaha.” (Madarijus-Salikin : 2/35)
Takut
yang bernilai ibadah
Takut
adalah kondisi psikis yang timbul karena perasaan khawatir tertimpa bahaya atau
celaka. Takut sendiri ada bermacam-macam:
[1]
Takut yang merupakan tabiat, seperti takut kepada binatang buas seperti ular,
harimau, dll dan takut kepada musuh dalam perang, ini semua bukan termasuk
takut yang tercela. Hal ini wajar ada dalam diri seseorang apabila dengan sebab
yang jelas. Namun hendaknya rasa takut tersebut tidak sampai menyebabkan
seseorang meninggalkan ibadah kepada Allah seperti amar ma’ruf nahi munkar atau
membuatnya melakukan hal-hal yang dilarang.
[2]
Takut kepada sesuatu yang samar sebabnya, seperti berhala ataupun wali
dikarenakan khawatir apabila tidak taat pada mereka maka akan terkena tulah
atau bala. Sebagaimana perkataan kaum Ad kepada nabi Hud ‘alaihis-salaam
“Kami hanyalah mengatakan jika sebagian sesembahan kami telah menimpakan
penyakit gila padamu…” (QS. Hud : 54). Mereka berkeyakinan jika sesembahan
mereka layak ditakuti karena dapat menimpakan keburukan. Hal ini termasuk
bentuk syirik.
[3]
Takut dalam rangka ibadah. Rasa takut seperti ini hanya boleh ditujukan kepada
Allah, sehingga membuat seseorang menjadi taat serta menjadikan dirinya menjauh
dari maksiat. Hal ini termasuk perkara paling wajib yang terkandung di dalamnya
keimanan.
Ketika
menafsirkan firman Allah Ta’ala: “…Janganlah kalian takut kepada
mereka! Takutlah kepadaku! Jika kalian orang-orang yang beriman” (QS. Ali
Imran : 175) Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Janganlah kalian
takut kepada orang-orang musyrik wali-wali syaithon. Karena ubun-ubun mereka
berada di tangan Allah. Mereka tidaklah dapat berbuat melainkan dengan izin
Allah. Maka takutlah kalian kepada Allah yang menolong para wali-wali-Nya yang
mempunyai rasa takut kepada-Nya dan doa mereka terkabul jika meminta. Dalam
ayat ini terdapat kewajiban takut kepada Allah Ta’ala semata. Ini merupakan
konsekuensi keimanan seorang hamba yang akan menghalangi seseorang dari sesuatu
yang haram.” (Taisirul-Karimir-Rahman hal. 140)
Syaikhul
Islam rahimahullah mengatakan : “Seseorang yang sudah tidak takut kepada
Allah, maka akan mengikuti hawa nafsunya. Terlebih lagi jika sesuatu tersebut
gagal untuk diraih. Maka nafsunya akan terus mencari sesuatu yang bisa
memuaskan dirinya dan mengilangkan rasa gundah dan kesedihannya. Hal itu karena
nafsunya tidak merasa tenang dan terpuaskan dengan berdzikir mengingat Allah
dan beribadah kepada-Nya. Akan tetapi ia merasa tenang dengan hal-hal yang
haram dengan berbuat keji, meminum sesuatu yang haram dan berkata dusta.”
(dinukil dari Hushulul Ma’mul hal. 76 – 77)
Tiga
pondasi ibadah
Setiap
ibadah yang dikerjakan setiap muslim agar dapat dekat dengan Allah haruslah
tegak di atas 3 pondasi ini, cinta, harap, dan takut. Hal ini selaras dengan
apa yang Allah Ta’ala firmankan dalam surah Al-Isra’ 57 (yang artinya) :
“Mereka (para nabi dan orang-orang shaleh yang diseru oleh orang-orang
kafir) juga berharap dengan mencari washilah agar dapat dekat kepada Allah
Ta’alaa, (saling berlomba) mana diantara mereka yang paling dekat kepada-Nya
dan mereka juga mengharap rahmat Allah dan mereka juga takut akan
azab Allah. Sungguh adzab tuhanmu memang harus ditakuti.”
Syaikh
As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya, “Cinta, harap dan takut merupakan tiga
karakter yang disifatkan oleh Allah Ta’ala pada diri orang orang shaleh
yang dekat dengan-Nya. Tiga hal ini merupakan pondasi sekaligus substansi pokok
dalam segala kebaikan. Apabila sempurna ketiganya, maka sempurna pula
kebaikannya. Apabila tiga hal ini tidak ada dalam hatinya ketika melaksanakan
ibadah, maka berkurang pula –atau bahkan lenyap- nilai kebaikan darinya dan dia
akan terkurung dengan kejelekan”. (Taisirul-Karimir-Rahman hal.435)
Tiga
pondasi tak terpisahkan
Tiga
pondasi ini tidak boleh terpisah satu sama lain. Apabila seseorang melaksanakan
ibadah hanya dengan salah satunya saja, maka ia terjerumus dalam kesesatan dan
kejelekan. Contohnya adalah sebagian golongan yang beribadah dengan berdasar
cinta semata. Padahal tidaklah demikian adanya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
sendiri mengajarkan kepada kita doa yang terdapat dalam Al-Qur’an (Q.S
Al-Baqarah: 201), “Robbanaa aatina fiddunya hasanah, wa fil-aakhirati
hasanah, wa qinaa adzaaban-naar” Ya Allah berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa api neraka.
Adapun
orang yang memperbesar rasa harapnya saja dikhawatirkan terjerumus ke dalam
pemahaman murji’ah yang hanya mengandalkan rasa harap saja serta tidak takut
akan dosa dan maksiat. Adapun orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan
rasa takut saja dikhawatirkan terjerumus dalam pemahaman khawarij yang terlalu
memperbesar rasa takut akan siksa Allah tanpa menyertakan harapan pada
tempatnya. Orang yang berpemahaman khawarij cenderung untuk mengkafirkan
pemimpin kaum muslimin. Mereka beranggapan setiap pelaku dosa besar kekal di
neraka seperti orang-orang kafir dan munafiq.
Penutup
Syaikhul
Islam rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah bahwa ada tiga hal yang
menggerakkan hati seseorang untuk menuju Allah ‘azza wa jalla: Cinta,
Takut dan Harap. Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah (cinta).
Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan
kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di
akhirat. Berbeda halnya dengan takut. Rasa takut akan lenyap di akhirat. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu
tidak ada rasa takut dan tidak pula mereka bersedih.” (QS. Yunus: 62)
Sedangkan rasa takut yang dimaksud adalah penahan dan pencegah agar seseorang
tidak menyimpang dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor
yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju tujuan yang ia
cintai. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya
rasa cinta. Adapun rasa takut akan membantunya mencegah keluar dari jalan yang
menuju tujuan yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu
perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib
memperhatikan hal itu. Karena tidaklah dapat tercapai tujuan ibadah tanpa
adanya tiga hal tersebut. Setiap orang haruslah menjadi hamba Allah semata,
bukan hamba selain-Nya.” (dinukil dari Hushulul-Ma’mul hal.82-83)
[Abu
Abdillah Al-Kautsary*]
*
Penulis adalah seorang pegiat dakwah kampus, menjadi anggota takmir mahasiswa
di salah satu masjid di sekitar UGM, dan aktif mengelola wisma-wisma muslim
bagi mahasiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar