Namanya Kurniawan. Dia biasa dipanggil Wawan. Saat
itu dia duduk di kelas 6 SD. Dia terlahir dari keluarga yang ekonominya
pas-pasan. Ayahnya berasal dari Palembang dan Ibunya dari suku Sunda. Ada
masalah dalam keluarganya, namun tidak menjadikan kelauarga itu berantakan.
Keluarga tersebut termasuk keluarga besar dengan 8 anak.
Hampir setiap malam ketika dia di kelas IV tidur di
gubukku yang sangat sederhana. Terkadang juga Wawan membantuku dalam
membersihkan rumah, memasak, dan beberapa pekerjaan ringan lainnya. Dia
membantuku tanpa pamrih, tanpa mengharap imbalan apapun. Pada waktu luang pun
kami bersama teman-temannya pergi memancing, bermain, dan belajar tentunya. Pada siang hari, Wawan juga membantu pekerjaan
orang tuanya di kebun atau pekerjaan rumah lainnya.
Begitulah hubungan kami terjalin dengan baik, dan
orang tuanya pun sedikit terkurangi bebannya. Keadaan itu berlangsung lama,
sehingga Wawan naik kelas V dan sekarang duduk di kelas VI. Bedanya, ketika di
kelas VI, Wawan tidak lagi tinggal bersamaku. Dia lebih banyak di rumahnya untuk
membantu pekerjaan orang tuanya di kebunnya. Namun jika malam hari, terkadang
di menemaniku di rumah. Belajar, ngaji dan bermain tentunya. Maklum di rumahku
adalah tempat anak-anak berkumpul untuk mengaji, belajar, dan bermain. Suka dan
senang sering kami rasakan bersama, melupakan masalah di kami masing-masing.
Melupakan susahnya belajar di kelas.
Di sekolah, dia saya perlakukan seperti anak yang
lainnya. Jika susah diatur saya marahi. Wawan termasuk anak yang kurang cerdas
dalam hal akademik. Dia kerap mendapat nilai kecil. Jarang mendapat nilai di
atas rata-rata. Namun, hal itu tak membuat dia sungkan dengan kami di rumah
maupun dalam bergaul.
Menjelang UAS, seperti biasa, anak-anak belajar dan
sering berkumpul di rumahku untuk belajar dan bermain. UAS berjalan dan dilalui
dengan biasa-biasa saja. Namun setelah UAS selesai, menjelang liburan, Wawan
jatuh sakit. Menurut orangtuanya sakit panas biasa. Sehingga dia tidak lagi
bisa tidur di rumahku, tidak bisa bermain dan berkumpul dengan teman-temannya
di rumahku. Sampai beberapa hari, panasnya tidak turun-turun. Maklum di
pedesaan, orangtuanya menganggap sakitnya biasa saja. Hanya diberikan obat
tradisional seadanya. Ketika kami jenguk, nampak dari raut mukanya menandakan
kesedihan yang mendalam karena sakitnya tak kunjung sembuh. Selain itu dia
ingin ikut bersamaku di rumahku, bersama-sama seperti dulu. Mengulang
kebersamaan dengan kami, dan teman-temannya. Namun hal itu tak mungkin terjadi
karena kondisi badannya masih sakit. Keinginannya untuk selalu bersamaku sangat
kuat sehingga dia sering murung dan melamun. Seakan menanggung rindu yang
sangat. Hal itu pun kurasakan. Namun apalah daya.
Tibalah liburan akhir semester 1. Sakitnya masih
bersarang di tubuhnya, Walaupun terkadang masih bisa berjalan dan mengunjungi
rumah temannya yang tak seberapa jauh. Namun untuk ke rumahku dia tak mampu.
Saat liburan, adalah saat yang kunantikan, karena saat itu aku pulang ke
kampung halamanku di Jawa untuk berkumpul dnegan keluarga dan saudara serta
teman-temanku di Jawa. Namun keadaan Wawan masih seperti itu, seakan tiada
perubahan. Akupun harus rela untuk meninggalakannya dalam kondisi seperti itu.
Ntar juga sembuh, pikirku dalam hati. Sehingga, dengan berat dan rasa iba, aku
tinggalkan dia. Akupun pulang untuk beberapa waktu lamanya. Di Jawa, aku
terkadang masih teringat dan memikirkan keadaan Wawan. Aku tidak tahu apa yang
terjadi dengan Wawan, namun aku mempunyai persaan yang kurang enak seakan
khawatir dengan keadaan Wawan. Beberapa minggu sudah aku di Jawa. Saatny untuk
kembali ke Lampung, karena liburan telah usai.
Aku pun kembali ke Lampung dengan perasaan berat
untuk meninggalkan keluarga dan saudara di Jawa. Namun karena menjalankan tugas
dan pekerjaan, akupun terpaksa meninggalkan orang-orang yang kucintai untuk ke
Lampung. Dalam perjalanan, terbayang teman-teman guru di Lampung. Terbayang
pula teman-teman yang sering menemaniku di saat aku sendiri. Teman-teman
bermain volly, teman begadang, serta murid-muridku yang kusayangi. Sesampai di
Lampung, aku pun menjalani aktifitas sehari-harinya di Lampung seperti biasa.
Meninjau kebun, tengok teman, bermain volley, mengajar di sekolah.
Hari pertama aku masuk sekolah setelah liburan di
Jawa, aku mendapat cerita yang menyesakkan dada. Wawan, muridku yang setiap
harinya menemaniku di rumah dulu, masih belum sembuh dari sakitnya. Panasnya
masih belum turun meski sudah diobati beerkali-kali. Namun karena hanya diberi
obat tradisional maka sakitnya enggan pergi dari tubuhnya. Padahal sakitnya
tergolong penyakit yang lumayan berat. Dia mengidap penyakit typus, yang jika
tidak ditangani serius bisa menyebabkan kematian. Kepala Sekolahku bertutur dan
bercerita tentang keadaan Wawan yang walaupun sakit masih sering datang ke
sekolah dengan menahan rasa sakitnya. Saat itu aku masih di Jawa, dan sekolah
sudah masuk. Wawan datang sekolah dengan kepayahan, menahan rasa sakit yang
sangat, dan kemudian duduk di teras sekolah memandangi rumahku yang kosong,
yang bersebelahan dengan sekolah. Mungkin berharap diriku keluar dari rumah
itu, walaupun dia tahu bahwa diriku masih berada di Jawa. Dia tak beranjak dari
tempat duduknya sebelum bel tanda masuk kelas atau pulang. Setiap hari Wawan
seperti itu, selama diriku di Jawa. Ketika ditanya oleh Kepala Sekolahku
mengapa demikian, Wawan menjawab, “Menunggu Pak Joko”. Rasa rindu akan
kebersamaan dengan kami menjadi penguat baginya untuk berjalan ke sekolah dan
menahan rasa sakit. Rasa hati ini tak karuan, anatara sedih, iba dan merasa
bersalah.
Hari itu, hari Senin, hari pertama aku masuk
sekolah. Kepala sekolahku menceritakan hal itu, dan akupun merasa sangat
bersalah dan iba kepada Wawan. Pada hari itu pula, Wawan tidak masuk sekolah
karena masih sakit dan kepayahan. Mungkin sakitnya semakin parah, atau bahkan
putus asa untuk bersua denganku setelah lama tidak berjumpa karena liburan.
Berita kedatanganku ke Lampung, di sekolah, sampai
juga ke telinga Wawan dan keluarganya. Namun kondisi Wawan sudah sangat parah
sehingga tidak kuat lagi beranjak. Dan, akupun belum sempat untuk menjenguknya
setelah pulang dari Jawa. Pada malam harinya, aku mendapat undangan kenduri
dari warga karena ada kepentingan hajat keluarga itu. Selesai kenduri, aku
berniat untulk menjenguk Wawan, yang sedang berjuang melawan sakitnya. Namun,
entah kenapa tidak ada kawan yang mau kuajak karena sudah malam. Akupun juga
merasakan capek karena habis perjalana jauh dari Jawa. Sehingga, akupun gagal
untuk menjenguk Wawan pada malam itu. Meskipun, diri rindu untuk bertemu. Iba
dengan keadaannya yang sekian lama berjuang untuk melawan sakitnya. Merasa
bersalah, karena diriku tak bisa memberi bantuan materiil, maupun semangat
untuk sembuh. Merasa bersalah, karena diri ini seperti tidak punya rasa empati
dan cenderung kurang mempedulikan keadaan Wawan yang sakit parah.
Hari, Selasa, hari kedua aku di sekolah setelah
liburan di Jawa. Ada berita yang menyesakkan dada. Berita datang dari keluarga
Wawan, ketika aku sedang mengajar teman-teman Wawan di kelas. Berita yang
membuat diriku tak kuasa menahan tangis, merasa bersalah, iba, marah pada diri
sendiri, menyesal dan sebagainya berkecamuk di dalam dada. Berita kematian
Wawan pun membuat kelu lidah ini, tak bisa sepatah kata pun kuucapkan. Hanya
air mata yang mengalir menandakan kesedihan dan kepedihan. Serta penyesalan
yang mendalam karena membiarkan Wawan berjuang sendiri melawan penyakitnya
tanpa kehadiranku di sisinya, yang sebenarnya sangat diharapkan oleh Wawan dan
keluarganya. Seakan ingin memarahi diri sendiri, karena seolah tidak peduli
dengan keadaan Wawan. Wawan pun meninggal. Aku dan murid-muridku merasa sangat
kehilangan dia.
Dengan perasaan yang tak menentu dalam diriku, antara
kasian, sesal, merasa bersalah, dan lain sebagainya, aku melanglkah menuju ke
rumahnya untuk takziyah. Akupun masuk ke dalam rumah kecil, yang di dalamnya
terdapat tubuh Wawan terbujur kaku. Aku harus menahan rasa duka, iba dan sesal
yang mendalam sehingga mulut ini tak bisa berucap. Di hadapanku, sosok Wawan
terdiam dan tiada bergerak, matanya tertutup seolah enggan melihatku dan marah
kepadaku. Di sampingnya, duduk ayahnya yang menangis karena kehilangan Wawan,
buah hatinya. Akupun menghampirinya dan kurangkul dia, dan kami pun larut dalam
kesedihan yang mendalam. Kupandangi Wawan, seolah dia marah kepadaku. Akupun
hanya diam, tak bisa berkata-kata, hanya air mata yang berbicara kepada
orang-orang di sekitarku tenyang keadaanku. Penyesalan itu pun, kurasakan
sampai sekarang, sejingga kutulis kisah ini, Kisah seorang siswa yang rindu
dengan gurunya. Sehingga, rasa sakit pun ditahan dan dilawannya untuk mencoba
untuk bertemu walau akhirnya gagal. Selamat jalan, Wawan. Selama jalan muridku.
Semoga di akhirat engkau mendapat tempat tervaik dan mendapat kenikmatan.
Maafkan aku, Wawan. Maafkan gurumu yang telah mengacuhkanmu karena kebodohanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar