TERTEKAN KARENA GURU
Perasaan tertekan
atau stres tak hanya bisa dialami orang dewasa saja. Anak-anak pun bisa
mengalami rasa tertekan karena berbagai sebab. Stres bisa bersumber dari
keluarganya di rumah, dari lingkungan, juga bisa dari sekolahnya.
Bila anak tidak
bersemangat setiap kali ke sekolah, bahkan terlihat cemas dan takut tiap hendak
berangkat sekolah, ada baiknya orangtua bertanya apa yang terjadi dengannya.
Apakah sang anak punya masalah tertentu di sekolahnya, dengan teman-temannya
atau bahkan mungkin dengan gurunya. Dengan mengetahui penyebabnya bisa dicari
pemecahannya hingga anak bisa kembali bersemangat untuk sekolah.
Guru di sekolah
memang bisa menjadi sumber stres bagi anak. Namun tak semua anak berpotensi
mengalami stres akibat perlakuan seorang guru. “Semua sikap guru akan disikapi
berbeda oleh setiap anak. (Bisa saja) menurut seorang anak, tidak
kenapa-kenapa, namun buat anak lain sikap guru itu bisa membuatnya stres. Semua
anak tidak sama, begitu pula tingkat stresnya. Juga berbeda antara anak
laki-laki dan anak perempuan. Begitu pun usia, juga memengaruhi mereka,” jelas
psikolog pendidikan Farida
K Yusuf, M.Sp.
Ed, dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Banyak hal pada
sikap dan tindakan guru yang memungkinkan anak-anak stres. Mulai dari beban
pelajaran yang diberikan guru hingga intonasi suara guru dalam mengajar.
Intonasi suara guru yang keras, kadang membuat sebagian anak takut dan
tertekan. Ketidakmampuan guru memenuhi harapan murid-muridnya ini – misalnya ngemong, sabar, penuh
kasih sayang – bisa menimbulkan rasa tak nyaman bagi sebagian anak, lalu
menyebabkan mereka tertekan.
Namun begitu, guru
yang galak tidak serta merta membuat anak langsung tertekan. Sebagian anak
malah merasa lebih terpacu ketika ia ‘digalakin’ guru. Ia
justru merasa guru memerhatikannya. Rasa ini sifatnya sangat individual sekali
dan tak bisa disamaratakan kepada semua anak.
Biasanya kegalakan
seorang guru yang sifatnya emosionallah yang kerap membuat murid tertekan.
Maksudnya, guru menjadi galak lantaran emosi yang keluar secara berlebihan dan
tidak sesuai dengan peran yang diharapkan sebagai seorang guru.
“Respons-respons emosional inilah yang harus dikenali oleh para guru, hingga ia
bisa mengintrospeksi diri dan mampu mengeluarkan respons-respons yang nyaman
dan diterima anak,” kata Farida yang mengasuh rubrik psikologi di sebuah
majalah ini.
Maka kalau pun
seorang guru sedang marah, tak perlulah sampai berteriak-teriak. Sebisa mungkin
tetap gunakan bahasa yang halus tapi tetap tegas yang menunjukkan otoritas
sebagai guru. Ketegasan dan pengendalian diri ini menunjukkan rasa percaya diri
sang guru yang segera akan diterima dan diserap murid, hingga mereka segan
terhadap guru yang bersangkutan sambil tetap merasa nyaman dalam bimbingannya.
Dengan alasan
kedisiplinan, guru kadang berkata keras bahkan pada beberapa kasus menggunakan
kekerasan fisik. Ini jelas perilaku guru yang tidak bisa ditolerir lagi.
“Dengan kata-kata yang tegas – bukan kasar – sebenarnya murid-murid sudah bisa
menerima apa yang disampaikan gurunya,” ujar Farida. Jadi kekerasan fisik itu
sebenarnya tidak perlu.
Kalau kemudian ada
guru yang beralasan bahwa semua kata dan tindak kekerasan itu dilakukan agar
anak-anak bisa mengikuti kurikulum dengan benar dan tepat waktu, jelas bukan
alasan yang tepat. “Sebenarnya itu tergantung pada kemampuan guru untuk me-manage waktu sehingga kurikulum yang ada bisa
diajarkan kepada murid-muridnya sesuai target. Ingat lho, guru itu manajer,
bukan sekadar fasilitator yang menyalurkan ilmu ke anak-anak. Ia juga harus
mampu menjalankan perannya sebagai manager dan mengatur disiplin di kelas,”
papar Farida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar