Sebagai
seorang guru tentunya menginginkan prestasi belajar anak didiknya baik. Ukuran
baik tersebut bisa dilihat dari nilai hasil belajar siswa. Nilai hasil belajar
siswa tidak hanya dari bidang kognitif saja, melainkan psikomotor dan afektif.
Akan tetapi dua hal terakhir tidak terlalu diperhatikan meskipun kedua hal
tersebut juga turut berperan pada keberhasilan siswa dalam menggapai cita-cita.
Kebanyakan orang masih menganggap prestasi belajar siswa dikatakan baik jika
nilai raport atau ijasah siswa baik. Bukan hanya kebanyakan orang, tetapi
pelaku pendidikan pun banyak yang beranggapan seperti ini. Lihat saja Kepala
Sekolah yang menlai keberhasilan seorang guru dalam mendidik dari nilai hasil
belajar siswa. Terutama sekali pada siswa kelas VI, karena nilai (UN/USEK)
siswa tersebut tidak bisa direkayasa. Berbeda dengan nilai raport siswa kelas I
– V yang sangat mudah direkayasa. Maka nilai Ujian Nasional merupakan tolok
ukur keberhasilan seorang guru kelas VI, dalam bekerja tanpa memperhatikan
kemampuan siswa sebelum masuk kelas VI. Bisa jadi waktu siswa di kelas V
nilainya baik tetapi tidak sepadan dengan kemampuannya. Kejadian seperti ini
sudah sangat biasa terjadi.
Hampir
semua guru tidak mau dipersalahkan karena siswanya mendapat nilai buruk.
Kurangnya perhatian pada guru kelas I-V menjadi masalah tersendiri bagi guru
kelas VI. Mengapa dikatakan kurang perhatian? Lihat saja beberapa peraturan
yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa tidak boleh ada siswa tidak naik
kelas. Atau peraturan bahwa jumlah minimal siswa yang tidak naik kelas adalah
20% dari jumlah siswa dalam sekelas. Bagi yang naik kelas nilai harus di atas
KKM, yang dapat direkayasa. Tanpa memperhatikan kemampuan siswa untuk
melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi, peraturan tersebut ditaati dan harus
ditaati oleh guru. Apakah keadaan itu menguntungkan atau merugikan bagi siswa?
Jawabnya bisa berbeda-beda tergantung sudut pandang dari yang menilainya.
Idealnya
adalah seperti keadaan jaman dulu. Siswa yang tidak bisa memperoleh nilai di
atas batas minimal perolehan maka siswa tidak boleh naik kelas. Sehingga mereka
yang naik kelas adalah siswa yang berkemampuan cukup dan di atas cukup. Bagi siswa
yang tidak neik beberapa kali harus dikeluarkan dari sekolah. Kejam memang,
tapi menjamin bahwa siswa yang naik kelas atau lulus adalah siswa yang
benar-benar pantas untuk naik kelas atau lulus. Dampaknya banyak anak usia
sekolah yang tidak bersekolah, tapi hal itu bisa diatasi dengan didirikannya
sekolah khusus yang tentu saja standar penilaiannya nya berbeda dengan sekolah
yang ideal. Di samping itu kinerja guru haruslah baik, disiplin, bertanggung
jawab, dan tentunya berkompeten dalam bidangnya.
Pada
jaman sekarang ini, pekerjaan guru dihargai dengan adanya pengakuan profesi
guru. Sehingga guru merupakan pekerjaan profesi bukan lagi sebagai ‘pahlawan tanpa tanpa tanda jasa’. Dengan
demikian guru (yang sudah bersertifikat sebagai tenaga pendidik atau
bersertifikasi) berhak mendapatkan tunjangan profesi guru yang besarnya satu
kali gaji pokok. Tentunya hal ini sangat mengembirakan bagi guru. Itulah upaya
pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Diharapkan dengan
ditetapkannya guru sebagai tenaga profesional akan meningkatkan kinerja para
guru dalam mencerdaskan bangsa. Akan tetapi kenyataan yang terjadi tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Masih banyak guru yang sudah bersertifikat tetapi
kinerjanya masih jauh dari harapan. Kurang disiplin dalam mengajar masih
menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Asyik di kantor/ruang guru,
bercengkerama dengan teman guru dan kepala sekolah, sementara siswanya juga
asyik gaduh/bermain di dalam kelas. Pemandangan itu masih sering dijumpai di
beberapa sekolah, SD, SMP atau SMA. Datang terlambat sudah hal biasa. Gaptek adalah
‘penyakit’ yang tak bisa disembuhkan. Jangan hanya menyalahkan guru, dan
tentunya masih banyak pula guru yang kinerjanya bagus. Bagaimana dengan Kepala
Sekolah? Setali tiga uang. Kepala Sekolah (tidak semua Kepala Sekolah) pun juga banyak kesalahan. Seharunya mengajar
Mapel tertentu tetapi tidak dilaksanakan. Penggelapan dana BOS. Kepemimpinan yang
kurang baik. Kebijakan yang memungkinkan menurunnya kinerja guru. Tuntutan agar
guru menyelasaikan administrasi sekolah, mengajar dengan disiplin, tapi diberi
beban yang lebih sehingga pekerjaan menjadi terbengkalai.