SISWA TEWAS, SALAH SIAPA?

SISWA TEWAS, SALAH SIAPA?
Jatuh korban lagi. Seorang bocah kelas 2 SD, tewas dianiaya oleh temannya sendiri di Tangerang, Banten. Peristiwa terjadi pada saat pelajaran olahraga. Dia dianiaya temannya sendiri karena teman-temannya kesal padanya, karena dia sering mengejek. Namun yang melegakan orang tua korban menyadari bahwa kejadian ini dilakukan oleh anak-anak yang kurang memahami seluk-beluk hukum, emosi, pengendalian diri dan faktor psikologi lainnya. Orang tua korban menginginkan masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan.
Namun, permasalahannya tidak sampai di siti saja. Di saat pendidikan di Indonesia sedang tertatih-tatih hendak berjalan menuju kemajuan dengan membawa beban berat. Tanpa diberi aba-aba, masyarakat luas langsung menuding dengan telunjuknya yang kencang ke arah guru yang bersangkutan dan Kepala Sekolah, serta dunia pendidikan pada umumnya. Guru dan Kepala Sekolah dianggap lalai memberikan perlindungan kepada anak didiknya. Jika terbukti maka berdasarkan UU NO 23 TH 2002 (Ps 54) Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahawa anak didalam dan dilingkungan sekolah wajib dilindungi dari  tindakan kekerasan yg  dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya (kalau tidak salah kutip). Dari UU itu jelas Guru bisa dipersalahkan atas kelalainnya. Permasalahan itupun sampai ke Komnas Perlindungan Anak. Oleh karena sudah ditangani pihak yang berwenang, maka saya tidak akan membahasnya, apalagi orangtua korban sudah berkomitmen untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Maka, bukan dari kacamata hukum yang ingin saya soroti atau tinjau. Karena saya juga seorang Guru, maka saya melihat peristiwa ini dari sudut pandang Guru terhadap peristiwa ini. Dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik guru tidak boleh membatasi peserta didik dengan latar belakang tertentu. Entah siswa itu anak orang melarat atau konglonerat, anak kondektur atau direktur, anak penjahat atau pejaba, bahkan pejabat yang jadi penjahat atau penjahat yang jadi pejabat. Jika siswa tersebut memenuhi persyaratan untuk diterima sebagai peserta didik maka anak tersebut berhak untuk mendapat haknya dari sekolah yaitu mendapatkan didikan, pembelajaran, bimbingan, arahan, latiha, penilaian maupun evaluasi.
Dari situlah maka sekolah “menampung” beragam peserta didik dengan latar belakang yang berbeda. Contoh pertama, bisa jadi siswa tersebut datang dari lingkungan yang agamis. Aktifitasnya sehari-hari selalu dalam bimbingan orang tua dan orang-orang terdekatnya yang paham tentang agama dan perannya dalam membentuk karakter/akhlaq yang mulia. Namun contoh kedua, di sisi lain, tak jarang pula latar belakang siswa bertolak belakang dari contoh pertama tadi. Lingkungan keluarga dan tempat tinggal si anak jauh dari nilai-nilai kebajikan. Orang tua pemabuk ataupu tidak peduli dengan pendidikan anaknya, lingkungan yang kurang kondusif yang sering terjadi kekacauan ataupun perkelahian, dan sebagainya.
Inilah yang menjadi beban berat bagi Guru. Guru dihadapkan pada peserta didik yang beragam, yang kesemuanya mempinyai hak yang sama. Jika siswanya adalah seperti pada contoh pertama tidaklah menjadi beban yang berat atau beresiko, namun jika kebanyakan atau ada beberapa siswanya mempunyai latar belakang seperti pada contoh kedua maka hal ini isa menjadi bom waktu bagi Guru, teman-teman peserta didiknya, sekolah, atau dunia pendidikan pada umumnya.
Sebagian masyarakat tidak peduli dengan keberagaman siswa tersebut. Justru mereka menganggap tugas gurulah untuk memperbaikinya, bukan tugas masyarakat atau lingkungannya. Mereka lupa bahwa siswa nberada di sekolah maksimal ¼ dari “hidupnya” dalam sehari. Sedangkan ¾ aktifitas anak-anak sangat dipengaruhi dari lingkungan anak-anak itu tinggal. Hal inilah yang sangat perlu difahami orang tua siswa dan masyarakat luas pada umumnya. Bukankah pendidikan anak itu tanggung jawab dari orang tua? Kullu maulu>din yu>ladu ‘ala-l-fit}rah, fa aba>wahu yuhawwidannihi auw yumajjisannihi.... (setiap anak dilahirkana dalam keadaan fitrah(islam) maka, bapaknyalah yang menjadika ia yahudi atau nashrani... Dari penggalan hadits ini jelas bahwa yang berperan di sini adalah orang tuanya. Meskipun selama ”¼” dari hidup si anak “diserahkan” kepada sekolah tapi yang “¾ “ sangat mempengaruhi bahkan bisa menafikan yang ¼ itu.

Oleh karena itu, saya mengajak pada rekan Guru untuk tetap optimis dalam menjalankan tugas kita sebagai Guru. Kejadian tewasnya siswa janganlah membuat jita surut dan pesimis dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Ibarat jalan pasti ada belokannya, ibarat air laut pasti ada surutnya, ibarat tunjangan sertifikasi pasti ada pajaknya, ibarat gaji pasti ada potongannya. Akhirnya, ingat sebuah pantun, “kesepian tanpa kekasih, sekian dan terima kasih”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar